rumahjurnal.online Sistem monetisasi dalam industri game terus berkembang dari waktu ke waktu. Awalnya hanya sebatas ekspansi tambahan dan kosmetik opsional, kini banyak game yang menawarkan konten berbayar dalam jumlah besar, bahkan cenderung memaksa pemain mengeluarkan uang.
Fenomena ini memunculkan kritik tajam dari komunitas gamer. Tidak sedikit game yang reputasinya hancur akibat strategi monetisasi yang dianggap serakah. Beberapa bahkan dicap sebagai contoh terburuk dalam sejarah industri game modern.
Berikut adalah tujuh game yang paling banyak dikritik karena monetisasinya dinilai tidak masuk akal.
1. The Sims 4 – DLC Terlalu Banyak dan Harga Selangit
The Sims dikenal sebagai salah satu franchise simulasi kehidupan paling sukses. Namun, The Sims 4 menjadi sorotan karena menerapkan sistem DLC yang sangat mahal.
Jika ditotal, seluruh paket ekspansi, stuff pack, dan game pack The Sims 4 bisa mencapai lebih dari Rp22 juta. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan game lain di genre yang sama.
Tidak sedikit pemain merasa bahwa EA memecah konten secara berlebihan dan menjualnya dalam bentuk paket terpisah yang sebenarnya bisa digabungkan. Kritik terhadap The Sims 4 bahkan terus muncul setiap kali EA merilis DLC baru dengan harga yang tidak murah.
2. Evolve – Contoh Buruk Monetisasi yang Merusak Potensi Game
Saat pertama kali dikenalkan, Evolve menjadi salah satu game yang menjanjikan. Konsep 4 vs 1 menghadapi monster raksasa membuat game ini punya peluang besar untuk sukses. Namun strategi monetisasi yang diterapkan justru menghancurkan reputasinya.
Evolve menjual banyak kosmetik, monster, dan hunter tambahan dalam bentuk DLC dengan harga tinggi. Pemain merasa konten yang seharusnya menjadi bagian dari game inti malah dijual terpisah.
Akibat kritik berkelanjutan dan jumlah pemain yang terus turun, Evolve akhirnya kehilangan popularitas dan mati secara perlahan. Ini menjadi contoh nyata bagaimana monetisasi buruk dapat membunuh game dengan konsep potensial.
3. Destiny 2 – Konten Berbayar yang Dikunci dan Dihapus
Destiny 2 sering dipuji karena mekanik gameplay yang solid dan pengalaman multiplayer yang seru. Namun game ini juga menuai kritik keras terkait monetisasi.
Masalah terbesar datang dari kebijakan DCV (Destiny Content Vault). Bungie menghapus sebagian konten dari ekspansi lama, termasuk story mission, area, dan aktivitas yang sudah dibeli oleh pemain.
Selain itu, game ini terus merilis ekspansi berbayar yang harganya tidak murah. Pemain merasa dipaksa membeli konten baru untuk tetap bisa menikmati permainan secara penuh. Kondisi ini membuat banyak gamer menyebut Destiny 2 sebagai game yang “mahal untuk dipertahankan”.
4. NBA 2K Series – Microtransaction yang Sangat Agresif
Seri NBA 2K dikenal sebagai simulasi basket terbaik, tetapi sistem monetisasinya menjadi salah satu yang paling agresif.
Mode MyCareer dan MyTeam penuh dengan VC (Virtual Currency) yang bisa dibeli menggunakan uang asli. Peningkatan karakter berjalan sangat lambat jika pemain tidak melakukan top-up.
Akibatnya, banyak gamer menyebut NBA 2K sebagai “game free-to-play berharga premium,” karena meskipun game ini berbayar, sistem microtransaction di dalamnya sangat dominan.
5. Diablo Immortal – Puncak Monetisasi Pay-to-Win
Saat rilis, Diablo Immortal langsung diserbu kritik karena monetisasi ekstrem yang mengarah pada pay-to-win.
Untuk meng-upgrade gear ke level maksimal, estimasi biaya yang dibutuhkan bisa mencapai lebih dari ratusan juta rupiah. Hal ini membuat sistem progression sangat timpang antara pemain gratisan dan pemain berbayar.
Diablo Immortal akhirnya menjadi simbol game dengan monetisasi yang dianggap merusak pengalaman bermain, terutama bagi penggemar lama Diablo yang berharap pengalaman murni tanpa microtransaction agresif.
6. Star Wars Battlefront II – Lootbox yang Dianggap Eksploitasi
Star Wars Battlefront II pernah menjadi kontroversi global karena lootbox-nya dianggap mengeksploitasi pemain. Konten penting dan kekuatan karakter dikunci di balik lootbox berbayar, sehingga memicu tuduhan “gambling untuk anak-anak.”
Kritik dan backlash besar akhirnya memaksa EA untuk mengubah sistem progresi dan menghapus sebagian mekanik monetisasi tersebut. Kasus ini bahkan menjadi pembahasan di beberapa negara terkait regulasi lootbox.
7. Pokémon Unite – Monetisasi Pay-to-Win yang Mengecewakan Fans
Sebagai game MOBA dari franchise besar, Pokémon Unite sebenarnya punya potensi besar. Namun sistem monetisasi membuat banyak pemain kecewa.
Item upgrade bisa dipercepat menggunakan uang asli, sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam gameplay. Pemain yang membayar bisa meningkatkan efek item lebih cepat dan mendapatkan keunggulan besar dalam pertandingan.
Penggemar Pokemon yang berharap pengalaman kompetitif yang adil akhirnya merasa kecewa dengan arah monetisasi ini.
Penutup: Monetisasi Perlu Hati-Hati Agar Tidak Merusak Pengalaman
Monetisasi bukanlah hal yang buruk selama dilakukan dengan transparan dan tidak mengganggu pengalaman bermain. Namun ketika penerapannya berlebihan, game yang sebenarnya punya potensi besar bisa kehilangan pemain hanya karena dianggap terlalu serakah.
Daftar game di atas menjadi pengingat bahwa fokus pada kualitas gameplay dan kepercayaan pemain jauh lebih penting daripada memaksakan monetisasi agresif.

Cek Juga Artikel Dari Platform museros.site
