rumahjurnal – Dunia game kembali kedatangan judul baru yang mencoba menghidupkan mitologi klasik mafia: Mafia: The Old Country. Sejak diumumkan, game ini sudah memancing antusiasme karena menjanjikan atmosfer khas era mafia Italia-Amerika yang penuh intrik, drama keluarga, dan gaya hidup glamor bercampur kekerasan. Namun, setelah dirilis, muncul kesan bahwa game ini lebih unggul pada sisi visual ketimbang narasinya.
Secara teknis, Mafia: The Old Country memang memanjakan mata. Lingkungan kota digambarkan begitu detail, dari jalanan berlampu temaram hingga interior restoran yang mewah. Animasi wajah karakter terasa halus, membuat cutscene seakan-akan menonton film layar lebar. Penggunaan pencahayaan dinamis juga menambah nuansa sinematik yang jarang ditemukan di game kelas menengah. Tidak berlebihan bila banyak pemain memuji grafisnya sebagai salah satu kekuatan utama.
Sayangnya, ketika bicara soal cerita, game ini belum mampu keluar dari bayang-bayang klise. Narasi masih berkutat pada konflik keluarga mafia yang saling berebut kekuasaan, pengkhianatan di tengah jalan, dan perjalanan karakter utama dari “anak bawang” menjadi sosok berkuasa. Semua terasa familiar, terutama bagi mereka yang sudah menelan banyak kisah mafia, baik dari film The Godfather, serial The Sopranos, maupun game klasik Mafia sebelumnya.
Beberapa pemain bahkan menyebut alur cerita mudah ditebak. Setiap kali muncul tokoh baru, hampir bisa ditebak siapa yang akan berkhianat atau mati tragis di akhir bab. Padahal, genre mafia seharusnya masih menyimpan banyak ruang untuk inovasi, misalnya dengan menyentuh sisi moral abu-abu atau menyoroti dampak kriminal terhadap masyarakat kecil. Namun sayangnya, The Old Country lebih memilih bermain aman dengan formula lama.
Meski begitu, bukan berarti game ini sepenuhnya gagal di sisi narasi. Penokohan masih cukup kuat, dengan pengisi suara yang totalitas menghadirkan aksen khas Italia-Amerika. Hubungan emosional antar karakter, meski klise, tetap mampu membangun ikatan dengan pemain. Ada momen-momen dramatis yang menyentuh, walau tak bisa dibilang segar.
Dari sisi gameplay, Mafia: The Old Country menawarkan perpaduan aksi tembak-menembak, stealth, dan eksplorasi dunia semi-terbuka. Pertarungan berlangsung cukup intens, dengan mekanik cover-shooting yang solid. Namun, variasi misi terasa repetitif: mengintai musuh, mencuri dokumen, lalu baku tembak. Beberapa misi memang diselamatkan oleh set piece spektakuler—seperti kejar-kejaran mobil klasik di jalanan sempit—yang membuat adrenalin naik.
Fitur tambahan seperti sistem reputasi antar keluarga mafia sebenarnya menarik, tetapi implementasinya kurang dalam. Alih-alih memengaruhi jalannya cerita, reputasi hanya berdampak pada akses senjata atau lokasi tertentu. Padahal, andai sistem ini digarap lebih jauh, pemain bisa merasakan dilema moral dalam memilih aliansi.
Meski memiliki kekurangan, game ini tetap punya daya tarik bagi penggemar genre mafia. Visualnya yang menawan berhasil menghidupkan atmosfer klasik dengan sangat baik, dan untuk pemain yang baru pertama kali menyentuh kisah mafia, cerita klise mungkin justru terasa seru. Bagi penggemar lama, game ini bisa menjadi nostalgia, meski tanpa banyak kejutan.
Kesimpulannya, Mafia: The Old Country adalah game yang memukau secara estetika namun kurang berani dalam hal narasi. Ia seperti sebuah film mafia indah yang nyaman ditonton, tetapi tidak meninggalkan kesan mendalam setelah selesai dimainkan. Bila Anda mencari pengalaman sinematik dengan grafis memukau, game ini layak dicoba. Namun, bila yang dicari adalah kisah mafia segar dan penuh kejutan, sepertinya Anda harus menunggu judul lain yang lebih berani keluar dari pakem.
