tradisi ngaji kilatan: dokumen pribadi |
Sudah menjadi tradisi pada setiap bulan Ramadan, beberapa pondok salaf menggelar pengajian kitab kuning dengan sistem ‘kilatan’ atau baca cepat, yang oleh para santri lebih akrab dengan istilah ngaji kilatan.
Sistem ngaji kilatan sendiri biasanya menargetkan satu kitab besar —berukuran tebal— ditambah beberapa kitab tambahan yang relatif lebih kecil. Dan santri dapat memilih kajian mana yang hendak diikuti. Ngaji kilatan pun relatif padat dan durasinya lebih lama jika dibanding dengan ngaji di hari biasa –selain ramadan.
Yang kemudian lekat bahkan tidak berlebihan bila dikatakan keharusan dengan fenomena ini adalah mengepulnya asap seduhan kopi dan rokok para santri saat mengaji. Karena faktanya, meminum kopi memang memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah membantu kita tetap terjaga. Bagaimana tidak, karena di saat ramadhan biasanya santri menghabiskan waktunya hanya untuk mengapsahi kitab kuning dengan tidur yang sekedarnya.
Lengkapnya, Syaikh Muhammad At-Tharabusi Al-Halabi mengatakan bahwa manfaat kopi dapat membangkitkan kekuatan otak, menajamkan otak dalam berpikir juga mengingat dan menjadi sebab kuatnya akal basirah, pendengaran, dan lima panca indra. Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam bahar takwil, Ibn Abdillah As-Samarangi menyebutkan bahwa kopi setidaknya memiliki lima faedah bagi yang mengonsumsinya, yakni; menambah semangat; memperlancar pencernaan; menghilangkan dahak; membaguskan napas; dan memperlancar buang hajat (BAB: Buang Air Besar).
Sedikit pendapat tersebut membuktikan bahwa kopi bermanfaat bagi orang yang memiliki kesibukan akal –belajar maupun mengajar— dan ingin memfokuskan pikiran. Dengan ragam manfaat itulah para santri mengonsumsi kopi, utamanya saat ngaji kilatan di malam hari pada bulan Ramadhan. Karena di samping dapat membantunya tetap terjaga juga mampu meningkatkan daya berpikir dan semangat santri.
Namun, berangkat dari situ juga ada sebagian ulama yang berpendapat mengenai pengharaman kopi karena dapat memabukkan dan menghilangkan kesadaran juga beberapa dampak yang membahayakan lainnya. Namun sejatinya efek negatif mengonsumsi kopi hanya dirasakan oleh sebagian orang saja –misalnya apabila dikonsumsi saat perut kosong, untuk orang yang tidak terbiasa minum, dan tidak sesuai kadar.
Menyangkal hal tersebut, Syaikh Al-Qodhi Ahmad bin Umar Al-Muzjad berpendapat bahwasanya kopi tidaklah menghilangkan akal dan tidak pula menimbulkan bahaya. Kopi, bahkan bisa memperlancar atau menambah aktivitas sehari-hari kita, karena dari sana dapat timbul kesenangan dan semangat. Oleh karena itu jika dikhawatirkan terdapat bahayanya meminum kopi, meminum teh bisa menjadi alternatif lain.
Maka dari itu Kiai Nadhim mengatakan bahwa apabila kopi tersebut dapat menjadi wasilah (arab: sarana) atau dorongan dalam berbuatan ketaatan maka hukum meminum kopi adalah sebuah ketaatan. Sebab “Innal lil wasailiyah yu’taha laha hukmu al maqasidiyah” (hukum suatu perantara, hukumnya disandarkan dengan hukum maksud tujuannya).
Merokok yang Tidak Diperbolehkan
Seperti yang sudah dikatakan di awal, salah satu fenomena yang lekat mengiringi santri kilatan adalah kopi dan rokok. Kopi dengan ragam faedahnya tadi dan rokok sebagai pelengkapnya. Karena –kata mereka yang ngopi sambil merokok— keduanya adalah hal yang tidak bisa terpisahkan. Bagai suami-istri –atau aku dan kamu.
Di luar hukum –mubah, makruh, halal atau haramnya— merokok, ada beberapa merokok yang dilarang bagi santri dan penuntut ilmu ‘apabila’ terdapat unsur su’ul adab di dalamnya, yaitu merokok dalam suatu majelis dan merokok di dalam masjid.
Pertama, merokok dalam suatu majelis ilmu terlebih lagi majelis belajar Al-Quran dengan catatan apabila terdapat unsur meremehkan atau merendahkan ilmu dan ahli ilmu dalam majelis tersebut. Bahkan Syaikh Muhammad bin Musa An-Nasawi apabila ada maksud merendahkan, menertawakan, meremehkan atau bahkan berbuat buruk pada pembaca Al-Quran dan kitab dikhawatirkan terkena hukum kufur.
Termasuk haramnya juga menurut Imam An-Nahrawi meletakkan rokok dalam tas buku atau kitab. Yang olehnya dilantunkan dalam syair yang berbunyi “Kullu ma bihi asy’arun bi `adamit ta’dzimi fahuwa mahzurun,” setiap syiar yang dilakukan dengan tidak adanya penghormatan, maka ia haram.
Dan meletakkan rokok di dalam tas (atau sejenisnya, yang juga bisa di-qiyas-kan dengan rak atau tempat buku lain) yang berisi buku ini dianggap sebagai salah satu bentuk tidak menghormati ilmu. Maka hendaknya seorang santri –tholibul ilmi— menjauhi perbuatan tersebut.
Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Fatawi Al-Haditsiyah lebih memperinci lagi pendapat An-Nahrawi tadi, bahwasanya yang dimaksud buku di sana adalah buku yang mengandung ayat Al-Quran dan nama-nama Allah di dalamnya. Sebaliknya, apabila tidak terdapat keduanya maka tidaklah haram melainkan makruh.
Hukum Merokok di dalam masjid
Pengharaman selanjutnya adalah merokok di dalam masjid. Dinukil dari kitab Fatawi Ahmad bin Zaini Dahlan. Syaikh Muhammad Babashil mengatakan bahwa belum pernah saya temukan satu keterangan pun dari para ulama yang memperbolehkan mengisap rokok di dalam masjid. Dan para ahli fikih telah menerangkan tentang haramnya mengisap rokok di dalam masjid.
Namun hukum haramnya tersebut tidaklah mutlak. hukum haramnya tersebut berlaku apabila perbuatan merokok itu mengganggu orang lain juga mengotori masjid. Dan apabila tidak ada keduanya maka tidaklah haram. Namun, menjaga untuk tidak merokok di dalam masjid dengan niatan menjaga kebersihan dan memberikan kenyamanan di dalam masjid itu lebih utama.
Dari ragam bentuk pengharaman tersebut yang patut untuk diperhatikan oleh para santri adalah akan pentingnya adab dari setiap perbuatan. Karena hukum haramnya tersebut tidak mutlak namun disandarkan pada perbuatan yang menyertainya. Wallahu a’lam
Post a Comment