Relasi Al-Quran dan Peran Perempuan dalam Realitas Sosial

Perempuan dalam Islam 

Derajat atau posisi laki-laki dan perempuan sejatinya sama saat awal penciptaanya. Secara ”ruhani”, keduanya diciptakan dari entitas yang satu atau nafsin wahidah. Merujuk pada QS. An-Nisa' [4] ayat 1 dan QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14, secara “jasmani” laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan proses yang sama. Keduanya sama-sama primer dengan mengemban amanah seabagai khalifah fil ardh (pemimpin atau sebagai pengelola alam).


Laki-laki dan perempuan sebagai sekunder hanya ketika berada dihadapan Allah Swt, karena keduanya mengemban status sebagai hamba. Di mana hal yang membedakanya  bukan dari jenis kelamin, namun kualitas ketakwaan dan sejauh mana ia menebar kemanfaatan.


Al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam, begitu memuliakan perempuan. Agama ramhatan lil alamin, yang membawa misi untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan untuk semua makhluk, termasuk manusia. Segala aspek kehidupan manusia telah diatur di dalam al-Qur’an. Tidak terkecuali dengan peran perempuan dalam  realitas sosial, meskipun tidak dijelaskan secara gamblang.


Artinya al-Qur’an hadir sebagai pedoman universal, hadir untuk laki-laki sebagaimana juga untuk perempuan. Hal yang perlu digali lebih mendalam adalah sebab atas isu ketidakadilan gender yang semakin merebak. Apakah bersumber dari sifat agama itu sendiri atau justru berasal dari pemahaman? Karena bukan hal yang mustahil jika penafsiran dan pemikiran keagamaan dipengaruhi oleh tradisi patriarki, aspek atau pandangan lainya.


Dari segi tafsir, tokoh  feminis  Amina  Wadud  misalnya, sebagaimana  dikutip  oleh  Abdul  Mustaqim, memberikan  tiga  kategori  dan  jenis  penafsiran  tentang  perempuan  dalam  al-Qur’an.


Pertama, tafsir  tradisional (klasik),  yang  secara  eksklusif  ditulis  oleh  kaum  laki-laki  dan  mengupas  pengalaman  perempuan    secara    minoritas.


Kedua,    tafsir    modern,     yang     berisikan     tentang     reaksi     menggunakan ide-ide rasionalis dan feminis oleh para pemikir modern terhadap sejumlah hambatan bagi  perempuan  yang  dianggap  bersumber  dari  al-Qur’an.


Ketiga,  tafsir  holistik,  yang  berupaya  menggunakan   seluruh   metode   penafsiran   dan   mengaitkan  dengan  berbagai  persoalan  sosial,  moral,  ekonomi  dan  politik,  termasuk  isu-isu  perempuan yang muncul di era modernitas.


Dalam  kaitan  ini,  Misbah  Mustafa,  reperesantasi    dari    ulama    Jawa (tafsir tradisional)  dalam Tafsir Al-Iklil Fi Ma’ani Al-Tanzil  menafsirkan    QS.  An-Nisa’  [4]:  34, bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Disebutkan dalam penafsirannya, bahwa perempuan harus menjadi pemimpin perempuan, oleh karena Allah telah menetapkan laki-laki lebih utama dari perempuan, seperti unggul dalam bidang ilmu, intelektual, pemahaman agama, masalah perang, jama’ah, tidak ada perempuan yang menjadi Nabi, laki-laki dapat berpoligami, laki-laki memiliki hak absolut, hak ruju’, memberi mahar maskawin dan menafkahi   kebutuhan keluarga.


Penjelasan Misbah ini sejatinya dipengaruhi oleh konstruksi budaya Jawa, di mana citra yang diidealkan  oleh  budaya  bagi  seorang  perempuan  tidak  melebihi  laki-laki,  seperti  lemah  lembut,  penurut  dan  tidak  membantah. Lebih    jauh,    kaum    perempuan    masih    dianggap the  second  class  yang  lazim  disebut sebagai  ‘warga  kelas  dua’  yang  eksistensinya tidak    begitu    diperhitungkan. Hal inilah yang menjadikan penafsiran yang diperoleh bias gender sebab tidak memperhitungkan posisi perempuan dalam peran dan realitas sosial.


Begitupun dengan budaya patriarki yang menunjukkan arah dominasi laki-laki atas perempuan. Seharusnya budaya ini sudah lepas dari umat muslim, berhubung dalam Islam sendiri tidak melegitimasi budaya patriarki. Justru Islam membawa al-Qur’an yang menjadi pedoman moral keadilan, berupa anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, sosial, politik termasuk keadilan gender.


Namun banyaknya kasus yang terjadi belakangan ini, menjadi tamparan keras untuk menyadarkan bahwa kenyataan yang terjadi bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Pelaku tindak kekerasan, marginalisasi, maupun subordinasi kepada wanita terbukti jelas tidak mencerminkan ajaran Islam. Artinya memang perlu ditumbuhkan kesadaran untuk membangun sinergi dalam kemaslahatan antara laki-laki maupun perempuan.


Sebagian masyarakat mengira bahwa keadilan yang diinginkan perempuan dengan tujuan menyaingi peran laki-laki. Sehingga menimbulkan kontroversi dan  pemberontakan dari pihak lain. Namun yang menjadi tujuan bukanlah hal tersebut. Perempuan menginginkan keadilan dalam ranah gender. Karena perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.


Sebagaimana keduanya diberikan anugerah potensi yang sama untuk mengembangkan diri. Dalam hal berpendapat, berpendidikan, maupun kesempatan bekerja. Tidak masalah apabila perempuan bekerja diruang publik termasuk berkiprah diruang domestik. Karena al-Qur’an sendiri tidak pernah mengatur peran khusus yang ditetapkan bagi laki-laki maupun perempuan dalam laku sosial.


Berbeda jika peran perempuan dijelaskan dalam konsep (secara) kodrati. Di mana perempuan memiliki kodratnya sendiri. Seperti halnya dalam lingkup rumah tangga, perempuan memiliki peran kodrat melahirkan dan menyusui. Hal ini tidak dapat ditukar, namun tidak menjadikan laki-laki lantas tidak peduli. Laki-laki ikut serta memberikan dukungan.


Lalu adapun peran gender yang bersifat fleksibel, seperti halnya peran mengasuh dan menididik anak. Di mana peran ini tidak dibebankan kepada salah satu pihak saja, melainkan tanggung jawab keduanya. Laki-laki dan perempuan dapat saling membantu dan menghargai sehingga tercipta kesetaraan maupun kehidupan bersama yang harmonis.


Peran sosial sesungguhnya yang harus dilakukan manusia untuk maju adalah memandang secara positif adanya perbedaan adanya laki-laki dan perempuan. Keduanya akan bekerjasama mewujudkan adanya kedamaian. Tidak mempermasalahkan adanya yang mana lebih kuat ataupun kelebihan manusia yang lain seperti dari segi fisik, keilmuan atau pun kekayaan.


Karena kelebihan tersebut hanyalah bersifat dinamis yang memiliki porsi masing-masing. Meskipun begitu adanya, namun dengan memiliki kelebihan sedemikian rupa tetap menggunakan prinsip yang sama.


Masing-masing pihak (laki-laki maupun perempuan) memiliki kewajiban untuk mewujudkan ataupun memelihara kebaikan serta mengatasi dengan menolak hal yang bersifat buruk dalam kehidupan bersama. Kemudian, kelebihan dari pihak manapun tidak akan menjadi alasan untuk menindas.


Dan sebaliknya bahwa kekurangan dari pihak manapun bukan menjadi alasan untuk ditindas. Terakhir, Pihak manapun yang lebih kuat dalam hal apapun memliki kewajiban untuk memastikan bahwa pihak yang lebih lemah diperlakukan secara manusiawi. Keduanya memiliki peran yang sama dalam realitas sosial.

Post a Comment

Previous Post Next Post