santriwati |
Kajian keadilan gender di pesantren beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Barangkali hal ini adalah bentuk kesadaran pesantren bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam dunia pendidikan, keagamaan, sosial politik, ataupun ekonomi. Sebelum muncul pandangan yang lebih segar itu, kurikulum yang diajarkan di pesantren baik dari kajian tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kerap kali yang dibaca adalah wacana subordinasi (the second class) terhadap perempuan, masih bernuansa patriarki.
Misalnya penafsiran QS. an-Nisa [4]: 34 yang masih bias gender. Laki-laki dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai pemimpin dari perempuan. Sebab laki-laki memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh perempuan. Sayangnya, pembacaan atas tafsir al-Qur’an di kalangan santri biasanya langsung menerima teks apa adanya (doktrin keagamaan yang baku) tanpa tinjauan analitis-kritis menuju pesan maksud syariat (maqāṣid al-syarī’ah). Sehingga cara pandang terhadap perempuan masih inferior dan berada dalam wilayah domestik belaka, sementara laki-laki lebih superior.
Untuk mmenghindari pembacaan setengah-setengah terhadap pemahaman agama di kalangan pesantren maka sangat perlu adanya kutikulum yang mendukung pengarusutamaan gender, baik dari sumber-sumber klasik maupun kontemporer. Maka, perjalanan panjang pesantren bukan sekadar transmisi ilmu pengetahuan dari kitab-kitab klasik karya ulama abad pertengahan. Bukan pula komunitas tradisional yang kolot dan kumuh, seperti anggapan sebagian orang. Pesantren sejatinya kawah candradimuka bagi para santri untuk melatih jiwa raganya untuk berkhidmah kepada ilmu dan guru. Kemudian terbentuklah pribadi yang tafaqquh fī al-dīn, indigenous, dan mengedepankan nilai-nilai akhlak. Unsur-unsur pesantren seperti pengasuh, santri, kitab kuning, pondok (asrama) adalah satu-kesatuan, yang pada gilirannya membentuk tradisi yang genuine.
Gender Mainstreaming pada Komunitas Pesantren
Konsep kesetaraan gender yang sudah mendapatkan banyak perhatian di kalangan pesantren, dimulai dari cara pandang pengasuh melihat realitas sosial. Seperti misalnya melihat nilai kemanusian, hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan -di luar yang kodrati- adalah sama. Ketika pimpinan pesantren telah memiliki cara pandang yang egaliter, demokratis, inklusif, dan memahami persoalan gender, artinya pesantren telah memulai sebagai komunitas yang turut aktif mewacanakan keadilan gender.
Pengasuh pesantren baik kiai ataupun nyai merupakan sosok sentral dengan otoritas keilmuan dan keteladanan bagi para santri. Di sinilah kemudian salah satu keunggulan pesantren, yaitu sistem asrama (pondok). Di mana para santri merekam laku hidup pengasuhnya secara langsung selama hampir 24 jam. Demikian pula dari pengasuh yang memberikan keteladanan, pengasuhan, dan mentransmisikan paradigma yang berperspektif gender. Lebih dari itu, hal-hal yang bersifat metafisik diyakini menguatkan upaya lahir dari pendidikan pesantren. Sistem asrama yang dimanajemen pondok pesantren mengajarkan hidup berdampingan dengan membangun kerja sama, empati, toleransi, dan kesetaraan antarsantri yang majemuk dari berbagai latar belakang. Basis spiritual-sosiokultural yang dilanggengkan pesantren melalui sistem asrama tersebut, terbukti lebih menguatkan karakter santri. Ada pepatah mengatakan, “lisān al-ḥāl afṣaḥu min lisān al-maqāl” (menyampaikan sesuatu dengan perbuatan [keteladanan] lebih fasih [mengena] daripada dengan lisan [retorika]).
Tentu pesantren membaca dinamika kehidupan yang semakin kompleks. Meskipun begitu, kurikulum pesantren tidak ingin menghilangkan identitas kitab kuning sebagai rujukan. Akan tetapi, pesantren hari ini tidak menutup referensi baru dengan reinterpretasi yang lebih maslahah untuk semua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Alhasil, upaya pengarusutamaan gender masuk dalam kurikulum pesantren dengan menambahkan berbagai rujukan mu’tamad yang telah menempatkan nilai-nilai universal, moderat, adil, egaliter, keterbukaan, dan kritis.
Tidak sedikit pesantren yang telah memadukan kedua sumber (klasik-kontemporer) menjadi formulasi yang berkeadilan gender. Sebagai contoh tema-tema tentang relasi antara laki-laki dan perempuan (suami-istri), dengan memberikan kajian kitab Qurrah al-‘Uyūn karya Syaikh Muhammad at-Tihami. Beberapa wacana di dalamnya yang masih bias gender, dilakukan pembacaan ulang dengan kajian kitab Manba’ al-Sa’ādah, Sittīn al-‘Adliyah, dan Nabiyy al-Raḥmah dari Kiai Faqihuddin Abdul Qodir. Tiga kitab yang terakhir disebut, membuka paradigma santri agar memiliki keseimbangan berpikir dan bekal membangun relasi yang sehat. Paradigma santri yang sudah berwawasan keadilan gender termanifestasi dalam ruang-ruang pesantren yang ramah, aman, dan preventif terhadap potensi kekerasan seksual yang bisa saja terjadi.
Dari Pemberdayaan Menuju Kebahagiaan
Tantangan “civil society” meniscayakan pesantren untuk menyesuaikan ingar-bingarnya. Menyesuaikan di sini, artinya mampu bertahan “survive” dengan tanpa kehilangan identitasnya bersamaan dengan menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Sektor kemandirian ekonomi dan literasi digital menjadi salah dua yang cukup dominan. Atas dasar itu, pesantren melakukan pemberdayaan santri melalui kecakapan hidup (lifeskill) yang dirancang berdasar kebutuhan zaman dan sumber daya yang dimiliki pesantren. Kurikulum berbasis lifeskill pun dilakukan secara proporsional dan berimbang bagi santri, perempuan ataupun laki-laki. Kurikulum lifeskill yang dihadirkan pesantren diharapkan mampu mencetak generasi yang mandiri dan berdikari.
Kecakapan santri dengan teknologi informasi menjadi kebutuhan yang mendasar. Sebab arus informasi yang mengalir deras, tidak sedikit yang berdampak terhadap dunia pesantren. Sehingga cakap literasi digital bagi santri merupakan modal bagi pesantren agar tidak tergerus zaman. Bahkan, kalau saja edukasi media sosial terlahir dari kalangan pesantren, ada harapan besar bahwa karakter peradaban digital bangsa kita dipenuhi kedamaian positif dan paradigma yang sehat, tak terkecuali melakukan diseminasi keadilan gender di jagat maya.
Adalah menjadi kewajiban setiap umat Islam terlebih pengelola pesantren untuk mengembalikan nuansa pesantren yang ramah dan disegai masyarakat. Setidaknya bisa berkontribusi mengurangi 36,36 persen kasus kekerasan yang disumbangkan pesantren dalam 1 semester terakhir ini (Juni, 2023). Yang 18,20 persenya dilakukan oleh pengasuh atau pimpinan pondok pesanren itu sendiri. Dengan komitmen bersama semua elemen pesantren, didukung dengan kurikulum yang apik, mainstreaming gagasan pesantren yang aman dan ramah gender dapat dengan cepat tersebar.
Tanpa menanggalkan tradisi dan identitas, para santri lahir sebagai generasi emas atas kecakapannya membaca zaman. Nalar berpikir yang seimbang dari komunitas pesantren tersebut, menjadi peluang besar bagi pesantren sebagai kelompok yang salāmah wa sa’ādah (selamat dan bahagia). Allah Swt. menyatakan dengan pasti di atas janji-Nya, laki-laki maupun perempuan yang beriman, yang melakukan kebajikan, maka sungguh akan mendapatkan kelayakan hidup dan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS. al-Nahl[16]: 97).
Post a Comment