Kacamata Islam: Perempuan dalam Budaya Patriarki

Perempuan dalam Islam

"Kami manusia, sama halnya dengan laki-laki. Aduh, berilah izin membuktikannya. Baiklah ikatanku! Izinkan saya berbuat dan saya akan menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia seperti laki-laki."

Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.

Istilah k'elaki-lakian atau kebapakan mengingat pada 'peraturan ayah'. Aturan-aturan yang berarti mengikuti tradisi pada sifat mendominasi laki-laki.

Tradisi ini memuat nilai-nilai kebudayaan, sosial, dan politik yang didasarkan pada kaum laki-laki. Patriarki dalam bahasa Inggris berarti 'patriarki', pada KBBI berarti perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

Salah satu dosen Bisnis dan Ekonomika (FBE) sekaligus peneliti di Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia, Listya Endang Artiani, menilai bahwa patriarki sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama.

Peran laki-laki sangat mendominasi dalam menunjang kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. 

Tradisi ini berkaca pada zaman Jahiliyah atau zaman sebelum Islam datang. Mayoritas laki-laki sangat memikirkan perempuan dan memandangnya ke sebelah mata.

Bayi-bayi perempuan sempat dikubur hidup-hidup dan digugurkan, para ibu tidak dihormati, kaum perempuan dimarginalisasi. Kondisi ini menjadi salah satu yang direspon Islam di masyarakat Arab pada saat itu. 

Perempuan pada zaman Jahiliyah derajatnya dianggap sangat rendah. Mereka yang memiliki anak perempuan dianggap sebagai aib. Perempuan yang dimarginalisasi dianggap sebagai makhluk subordinat.

Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan karena semua manusia itu mempunyai hak untuk hidup dan berkehidupan yang layak. Masyarakat jahiliyah cukup serius dalam menilai eksisan seorang perempuan.

Pada saat ini mereka yang membenci perempuan tidak mempunyai rasa kasihan dan kesan misoginis yang begitu kental mewarnai kehidupan manusia pada saat itu.

Khalifah Umar Ibnu Khattab RA pernah mengungkapkan, saat itu dirinya belum memeluk agama Islam dan lahirnya seorang anak perempuan dalam keluarganya bagaikan aib apalagi bila mereka mempunyai kedudukan yang baik dalam kelompok masyarakat.

Oleh karena itu, demi menutupi aib-nya, anak perempuan yang baru lahir harus dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup. 

Hal ini sesuai dengan ayat dalam Al-Qur'an, yang artinya: 

''Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah. Lalu dia bersembunyi dari banyak orang, disebabkan kabar buruk yang diterimanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan.'' (QS An-Nahl [16] : 58-59).

Kondisi yang sama terjadi di Eropa. Pada tahun 586 M (sebelum datangnya Islam). Agamawan di Perancis masih membahas apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak? Apakah mereka juga bisa masuk ke surga?

Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa, namun tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki yang bebas diperjual belikan.

Sebelum masuknya Islam, perempuan dipandang sebagai makhluk yang kurang berakal, kurang memahami agama, kurang mempunyai potensi, serta tidak memiliki nilai kemanusiaan jika dibandingkan dengan laki-laki.

Masa-masa kelam telah menghiasi masyarakat yang buta akan kemanusiaan padahal Allah menciptakan manusia baik itu laki-laki maupun perempuan dengan derajat yang sama dalam pandangan-Nya. 

Islam datang dengan membawa pandangan baru tentang perempuan dari bidang kemanusiaan, yaitu adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan perbedaannya hanya dalam persetujuan saja.

Islam datang abad ketujuh di negara Arab, salah satu misi besarnya mengubah nasib perempuan. Sebab, perempuan sama manusianya dengan laki-laki.

Islam juga membawa tujuan mulia untuk membebaskan manusia dari perbudakan kemanusiaan yang dipenuhi dengan ketidakadilan dalam masyarakat.

Laki-laki sejati-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah menyediakan untuk pelestarian dan pahala yang besar.” (QS Al Ahzab [33]: 35).

Dalam Tafsir Kemenag RI ayat di atas menggambarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mendapat balasan amal perbuatan sesuai apa yang masing-masing individu kerjakan. Di hadapan Allah tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya semata-mata amal ibadahnya lah yang membedakan kedudukan mereka di hadapan-Nya.

Ajaran Islam datang ke bumi mewartakan soal perlunya bersikap adil, setara, dan saling menghargai sesama manusia tanpa didasarkan pada perbedaan, termasuk perbedaan jenis kelamin.

Menyoal Kesetaraan Gender Pada Perempuan

Menurut survei Women's Health and Life Experiences pada tahun 2017, perempuan di Indonesia masih menghadapi kendala hukum dan diskriminasi di lapangan kerja. Dengan angka sebesar 51%, keterlibatan perempuan Indonesia di pasar tenaga kerja juga masih jauh di bawah rata-rata pria sebesar 80%.

Begitu juga dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2022, Menurunnya kualitas hidup perempuan di Papua juga dipengaruhi oleh covid-19. Mulai dari meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan Papua dengan HIV/AIDS di Provinsi Papua dan Papua Barat, situasi disabilitas mental yang salah satunya disebabkan oleh KdRT sampai minimnya layanan terintegrasi kepada masyarakat.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, mengungkap bahwa upaya kolaboratif dan sinergi menjadi salah satu kekuatan pemerintah Indonesia untuk mencapai target bahwa perempuan Indonesia harus berdaya dan mandiri.

Kerja bersama aktif dilakukan pemerintah dengan pihak di luar pemerintah seperti pihak swasta. Beberapa perusahaan swasta juga telah berhasil mengembangkan kebijakan untuk memberikan partisipasi perempuan dan mengambil keputusan dan kebijakan.

Mewartakan dari Asian Development Bank, terdapat beberapa penyebab kesenjangan gender di dunia kerja. Di antaranya ada anggapan bahwa perempuan lebih tidak produktif. Begitu juga upah perempuan lebih rendah dari laki-laki, meskipun waktu dan beban kerja mereka sama. Selain itu, banyak perempuan di anak tirikan termasuk dalam urusan pemilihan profesi.

Bila masyarakat kita belum bisa menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus dihormati, dihormati, dan dijaga sebagaimana Pancasila dalam sila ke-2, maka tidak heran jika kasus memahami dan diskriminasi marak terjadi sehingga anak kecil pun akan bernasib sama dan menjadi trauma sepanjang hidupnya. Apakah masyarakat sudah siap? Semua ada di tangan kita.


Post a Comment

Previous Post Next Post