Pemanggilan yudisium ini akan menjadi salah satu kisah bagi saya yang akan saya kenang selalu, walaupun dipenuhi dengan tangisan dan penyesalan. |
Yudisium kenaikan kelas merupakan salah satu acara yang sangat dinanti nanti oleh
para santri, tetapi acara ini juga merupakan acara yang membuat detak jantung
para santri akan berdetak tidak karuan. Dan harus siap menerikan semua
keputusan yang telah ditetapkan oleh pondok ini.
Acara ini berbentuk panggilan kepada para santri mengenai siapa saja yang akan naik kelas atau akan menetap dan menggulang kebali kelasnya. Akan ada lima panggilan dalam acara ini, panggilan 1, 2, 3 & 5 adalah panggilan bagi para asntri yang dapat naik kelas, sedangkan panggilan ke 4 merupakan panggilan kepada santri yang kurang beruntung. Dan saya pernah merasakan panggilan yang manan para santri tidak inginkan, yaitu adalah panggilan ke 4.
Semua bermula ketika saya berada di bangku kelas 2 KMI, sebenarnya saya merupakan santri baru karena saya baru memasuki pondok ini saat kelas 8 semester 2 atau sama dengan kelas 2 KMI. Penyebab saya dapat memasuki pondok ini salah satunya adalah permintaan ayah dan ibu agar saya dapat memperbaiki dan meningkatkan akhlaq, adab, sopan santun dan banyak hal lainya.
Jujur
saja sebagai orang yang baru pertama kali masuk pondok, saya merasa sangat
kesulitan dalam memahami
pelajaran pondok. Karena
mulai dari buku, tulisan dan cara guru menyampaikan materi seluruhnya
menggunakan bahasa. Yaitu bahasa arab dan inggris.
Apalagi saya masuk ke pondok ini saat di kelas 2 KMI yang mana saya harus belajar lebih ekstra agar bisa mengejar pelajaran pondok yang tertinggal dan dapat mengimbangi teman teman yang lain.
Pada saat UKK tiba, hal yang dapat saya lakukan adalah pasrah dan tawakal kepada Allah. Karena saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan, karena tidak ada satu soalpun yang saya pahami. Walaupun ujian telah berkahir entah mengapa hati saya masih merasa tidak tenang, karena memikirkan hasil seperti apa yang akan saya dapatkan.
Waktu yang ditunggu tunggu pun telah tiba, yang mana bertepatan pada hari Ahad pagi. Pembacaan yudisium kenaikan kelas pun dimulai. Yang hanya dapat saya lakukan adalah menyiapkan mental sekuat kuatnya. Karena saya tidak berharap lebih agar dapat dipanggil pada panggilan pertama maupun paggilan kedua.
Saat nama nama yang dipanggi pada panggilan satu dan panggilan kedua
yang saya lakukan adalah ikut bangga dan senang karena
teman temanku sudah
banyak yang terpanggil. Walaupun sebenarnya saya masih
menunggu kapan akan dipanggil.
Dan akhirnya panggilan ke 4 pun tiba, ada enam santri yang dipanggil, dan saya adalah salah
satu dari keenam santri itu. Hal yang harus kita lakukan setelah mendapat
penggilan adalah pergi atau pun lari dari lapangan menuju aula pertemuan.
Walau pun para ustadz menyuruh kita untuk berlari, tetapi
kita ber enam tidak memiliki semangat seperti yang lain. Akhirnya kita pun
pergi menuju aula dengan wajah yang menampakan penyesalan dan kepasrahan, karena
yang dapat kita lakukan adalah siap
menerima keputusan apapun.
Sebelum memasuki aula, setiap dari kita diberi sebuah surat yang bertuliskan
“Hasil Keputusan”. Saat melihat tulisan itu nantinya saya akan mengetahui hasil
ujian saya, apakah naik kelas atau akan mendapatkan hal yang tidak kami harapkan.
Kita pun dipersiapkan untuk
duduk di tempat yang sudah disediakan khusus hanya untuk kita ber enam.
Suasana di dalam aula pun berubah menjadi hening, seketika kitapun
dipersilahkan untuk membuka surat
keputusan yang sudah diberi. Mata saya pun langsung tertuju
kepada isi surat yang bertuliskan “Kepada ananda Honnasan Yousouf
setelah menimbang yang bersangkutan akan naik kelas bersyarat dikarenakan nilai
masih dibawah rata-rata”.
Setelah membaca surat itu akhirnya hal yang sudah saya tahan dari awal agar tidak keluar akhirnya keluar juga, saat itu saya sudah tidak dapat menahan air mata yang entah mengapa walaupun sudah saya tahan air mata ini, tetapi tidak pernah bisa berhenti.
Walau bagai manapun waktu tidak dapat diulang kembali, disaat itu pula saya merasa kecewa terhadap diri saya sendiri. Karena tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Dengan rata rata 2,7 bisa dibilang saya berada pada urutan paling akhir di pondok ini, dan ini pula yang menjadi penyebab saya dapat meneteskan air mata.
Meskipun saya berada di ranking paling akhir di pesantren ini, saya berterima kasih kepada bapak kyai karena masih memberikan kesempatan kepada saya agar tetap bisa naik kelas, walaupun harus naik kelas dengan status bersyarat karena sebelumnya saya berfikir bahwa saya harus mengulang kelas kembali.
Disaat itu kyai kami pun memberikan pesan kepada kami agar kita dapat
merenungi kalimatnya, “jangan jadikan
hal ini akhir dari hidup kalian”. Walaupun
terdengar simple, jika kita renungi lebih dalam kita bisa
mengambil banyak pelajaran dari kejadian ini.
Pada awalnya
saya takut dan enggan untuk memberitahukan hal ini kepada
orangtua karena saya takut membuat mereka kecewa dan marah.
Ternyata jawaban yang mereaka berikan tidak seperti yang saya
bayangkan. Karena mereka dapat memahami
apa yang sedang saya alami. Dan mereka pun memberikan motivasi penuh agar tetap melanjutkan
sekolah di pondok ini.
Terdapat satu kata yang selalu saya ingat dari kedua orang tua saya.
Mereka berkata “ayah dan ibu tidak terlalu
mementingkan nilai kamu, yang penting
akhlaq dan perilaku
kamu berubah menjadi lebih baik dan menjadi contoh yang baik untuk
adik-adik kamu yang lain”.
Dari pesan yang telas disampaikan oleh kyai dan orang tua saya, itulah yang akan selalu menjadi acuan bagi diri saya dalam menjalankan kehidupan di pondok pesanren ini.
Dari kedua pesan itu pula saya akan membuktikan bahwa saya bisa menjalankan kehidupan di pondok ini dengan istiqomah dan penuh dengan kesungguhan. Yang awalnya tidak saya tidak dapat melakukan banyak hal hingga menjadi seseorang yang dapat melakukan banyak hal yang insyallah akan berguna bagi kehidupan saya kelak.
Dan dari kejadian inipun saya dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga, yaitu saya tidak boleh meremehkan hal yang kecil karena akan berdampak besar di kemudian hari. Lalu saya pun harus lebih giat lagi dalam belajar. Sesuai dengan pepatah orang “jika kita memiliki yang tinngi maka harus dibarengi dengan semangat beribadah dan belajar yang tinggi pula”.
Pemanggilan yudisium ini akan menjadi salah satu kisah bagi saya yang akan saya kenang selalu, walaupun dipenuhi dengan tangisan dan penyesalan. Akan tetapi yudisium ini akan menjadi Yudisium Terindah.
Post a Comment