Ucapan Selamat dan Pelukan Ibu [Cerpen]



“Hari Senin adalah hari untuk mereka yang mau berjuang dan tertatih, bukan untuk mereka yang malas serta memilih mundur sebelum marah,” seru kepala sekolah dengan semangat menggebu sebagai pertanda selesainya upacara bendera. Teriknya mentari pagi ini tak menghalangi semangat beliau untuk mengobarkan semangat muridnya. Tak lama kemudian, pemimpin barisan membubarkan barisannya masing-masing. Kami pun berlatih keras menuju kelas masing-masing sambil menunggu kedatangan guru. “Uh, upacara tadi panas banget, iya kan Li?” keluh Dila sambil mengibaskan topi abu-abunya. 

Setelah melaksanakan upacara bendera empat puluh menit lamanya, saya menyantap pelajaran kimia sebagai menu sarapanku. Waktu istirahat yang seharusnya digunakan untuk membeli makanan, kugunakan untuk menulis catatan dari guru kimiaku, Bu Romlah. Suara derapan kencang dari sepatu hitam siswa madrasah sempat membuatku tertarik. Aku melirik ke arah pintu kelas dan bertanya kepada Dila,

“Dil, kok kayaknya di depan kelas ramai ya? Menurut kamu ada apa sih?” tanyaku sambil menyembunyikan badan ke belakang. Dila yang kali ini memegang cilok dan cimol—hasil jajan di kantin pun menjawab,

“Loh, sekarang kan lagi pengumuman SNMPTN Li? Bukannya kamu kemarin mengajukan pendaftaran SNM ya? Coba deh lihat hasil pengumumanmu.” Setelah berterima kasih kepada Dila karena telah memberi tahu jam pengumuman SNMPTN, saya pun bersusah payah untuk melihat pengumuman.

“Kok aku bisa lupa ya, bismillahirrahmanirrahim semoga hasilnya sesuai dengan harapanku, aamiin ”. Saya menangkupkan tangan sambil merapalkan berbagai macam doa di sepanjang jalan dengan harapan apa pun hasil yang saya dapatkan nanti, saya terima dengan hati yang ikhlas.

Suasana di depan mading dekat kantor satpam terlihat ramai, banyak siswa yang berdesakan untuk mengecek apakah nama mereka masuk ke dalam daftar siswa yang lulus. Saya mencoba maju ke depan—berikut berdesakan dengan siswa lain, sambil melihat dengan hati-hati apakah namaku masuk dalam daftar penerima SNMPTN tahun ini.

Saya sangat terkejut saat melihat namaku berada di nomor dua puluh dalam kertas pengumuman tersebut. “Alhamdulillah, aku lulus SNMPTN Bu,” bisikku saat melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Tak percaya dengan apa yang kulihat, aku menengok namaku kembali dan ya namaku tetap berada di peringkat dua puluh. Kemudian, saya mundur—memberikan ruang bagi siswa yang hendak melihat pengumuman tersebut. Total terdapat dua puluh tiga anak mengantre untuk mengambil bukti penerimaan di dalam ruangan administrasi.

“Hai Li! Wah, ternyata kamu diterima SNMPTN juga yaa. Kamu diterima di mana dan jurusan apa Li?” Tanya Nanda teman di seberang kelasku.

“Halo Nan! Alhamdulillah saya diterima di jurusan pekerjaan Universitas Gadjah Mada. Kamu sendiri diterima di mana Nan?” Sapaku tersenyum sambil membalas jabat tangan Nanda.

“Ah keren banget! Kalau saya sendiri diterima di Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman. Eh, kita sama-sama di fakultas kesehatan nih, boleh kali kita berbagi informasi”. Kami berdua tertawa bersama dan melanjutkan pembicaraan mengenai satu dua hal.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku melegakan ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Dila dengan suara kencangnya meneriakkan namaku sewaktu-waktu setelah kuceritakan hasil yang kudapat. “Teman-teman! Lihat teman kita, Lili berhasil dapat kursi SNMPTN!” aku yang mendengarnya hanya bisa menggeleng maklum dan mengucapkan terima kasih kepada teman kelas yang memberikanku ucapan selamat. “Hasil SNMPTN ini harus kusampaikan segera kepada ibu,” gumamku tersenyum senang.

Butuh waktu dua puluh menit perlindungan tuk sampai ke rumah dengan sepeda tua warna biru mempersembahkan Kakek. Saya melepas sepatu dengan gerakan cepat—berharap saya dapat segera menyampaikan hasil tadi kepada ibu. 

“Kok baju saya kekecilan ya Bu? Saya rasa tubuh saya tidak membesar loh, lagipula kemarin sudah diukur lebih besar kan? Duh, baju ini mau saya pakai besok malam, tapi sekarang bajunya malah kekecilan,” keluh seseorang yang sepertinya menjadi pelanggan ibu.

Tak ingin mengganggu pekerjaan ibu, saya menunda hal yang ingin kusampaikan dan menunggu di depan pintu sambil mendengarkan apa saja yang ibu dan pelanggannya bicarakan. Pelanggan yang satu ini tampak kecewa, terdengar dari emosi yang dia utarakan saat mengungkapkan keluhannya.

“Sekali lagi saya minta maaf Bu, kemarin kira-kira saya salah menghitung hitungan untuk pola jahitannya. Secepatnya akan saya perbaiki Bu,” ucap ibu berusaha menenangkan pelanggan.

“Baiklah, saya tunggu besok pagi ya Bu untuk bajunya. Permisi, saya pamit pulang,”

Nggih Bu, saya usahakan besok pagi baju Ibu sudah selesai,” pelanggan tersebut mengangguk dan berbalik pergi dari rumah kami.

Sebelum masuk ke dalam rumah, terlihat gurat kelelahan di wajah ibu. Wajah yang biasanya selalu tersenyum di hadapanku, kini terlihat murung dan lelah. Saat dia hendak mengangkat tumpukan kain dan baju, dengan gerakan cepat aku mencegahnya,

“Oh Lili, kamu sudah pulang? Ayo bersihkan dirimu akan ibu buatkan makan siang”

“Ibu istirahat saja atau ibu bisa lanjutkan jahitan ibu, biar Lili yang bereskan ini dan buat makanannya,” ucapku membujuk ibu. Ibu tersenyum maklum dan membiarkanku melakukan pekerjaannya. 

“Sudah cukup Ibu menanggung kelelahannya hari ini, akan kubantu semampuku. Soal hasil tadi mungkin bisa kutunda sampai waktu yang tepat, baiklah hari ini menunya tempe goreng dan sambal terasi!” gumamku menyiapkan bahan yang kubutuhkan.

Sembari membuat menu makan siang sekaligus malam, saya membayangkan banyak hal khususnya masalah keuangan. Sejak ayah meninggal, ibu berusaha keras mengembangkan usaha menjahitnya. Masih segar dalam ingatanku, saat usaha menjahit ibu baru dirintis, beliau menawarkan usahanya dengan balas jasa yang terbilang sangat murah. Selain itu, beliau rela mengurangi waktu tidurnya demi mencukupi kebutuhan kita. Saya kembali menghubungkan hasil yang saya terima tadi dengan kondisi keuangan ibu. Apakah ibu mau membiayai kuliahku? Apakah saya cukup tega membuat ibu kesusahan lagi? Kuhentikan pikiranku dan segera kuangkat tempe goreng yang sudah matang.

“Ibu, makanannya sudah siap,” ucapku berdiri di depan ibu.

“Makan duluan saja Li, ibu makannya sekalian nanti malam saja, ibu mau menyelesaikan baju ini secepatnya,” balas ibu yang sedang sibuk menggenjot mesin jahitnya. Jika ibu sudah mulai, maka hal yang dapat dilakukan adalah pelunasannya. Aku berdoa semoga ibu dapat menyelesaikan masalahnya dengan cepat.       

Siang berganti malam, ibu sepertinya sudah menyelesaikan pekerjaannya, terbukti dari kursi jahitnya yang kosong dan baju pelanggan tadi siang yang sudah tertumpuk rapi. Saya yang sudah menyiapkan kertas pengumuman tadi berusaha menarik napas dalam-dalam. Beberapa kemungkinan singgah di tenda, tetapi sebisa mungkin saya akan menerima keputusan dari segala Ibu.

“Ibu, Lili mau menyampaikan sesuatu,” ucapku dengan satu tarikan napas. Kulihat ibu menghentikan kegiatan mengelap meja dan memberikan seluruh perhatiannya.

“Iya Li, apa yang ingin anak cantik ibu marah, sini duduk di samping ibu” jawab ibu dengan senyum teduh di wajahnya. Melihat senyum ibu, saya merasa lebih tenang dan berani menyampaikan tujuanku.

Anu Bu, ibu inget enggak soal seleksi perguruan tinggi yang mau Lili ikuti? Alhamdulillah Bu, Lili lolos SNMPTN di Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Lili ikut keputusan ibu saja, kalau ibu setuju, Lili bisa konfirmasi ulang. Kalau ibu tidak setuju, Lili bisa mengambil kesempatan kerja saja Bu,” ucapku sambil menghina kertas pengumuman. Ya, saya sudah ikhlas jika ibu memilih opsi kedua. Saya akan berusaha keras untuk bekerja membantu ibu.

Setelah menjelaskan hal tersebut kepada ibu, ibu langsung memelukku erat. Kemudian ibu berbisik,

Alhamdulillahirabbilalamin. Selamat Li, kamu tahu ibu sangat senang. Ibu sampai enggak tahu harus ngomong apa lagi, ibu bangga Li, ayahmu pasti tersenyum bahagia sekarang. Ibu selalu berdoa kepada Allah agar anak kesayangan ibu bisa melanjutkan sekolahnya, bisa mendapat gelar sarjana.”

“Tidak semua orang memiliki keberuntungan yang sekarang kamu genggam Li, manfaatkan keberuntungan itu dengan sebaik-baiknya ya? Lili tahu kan, pendidikan itu penting? Soal keuangan enggak perlu kamu pikirkan, ibu sudah ada uangnya. Sekali lagi selamat anakku,” ibu mengecup kepala dan memelukku erat kembali. Aku yang sudah tidak mampu menjawab kalimat ibu, hanya mampu menitikkan air mata, lega sekaligus terharu. “Terima kasih, terima kasih banyak ibu, Lili berjanji akan berusaha keras untuk mendapatkan gelar sarjana”. Aku menyembunyikan selimut dan membalas pelukan ibu sama eratnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post