Dan dengan demikian, ku berani menyatakan bahwa diriku lahir hanya terdidik sebagai pelacur belaka. Sebagaimana mereka melarangku akan sebuah pengkhianatan ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. |
Mereka bilang aku sampah masyarakat, terserah. Tapi, jangan salahkan aku ketika pendidikan yang negeri ini berikan seperti kolonial yang rakus akan materi.
Diam seribu bahasa. Hanya itu yang dapat kakek Slamet lakukan dengan susunan kalimat diluar amplop yang dibungkus sangat rancu, membuatnya heran tak karuan bagaikan teror mengancam dirinya sendiri.
Usut punya usut kakek Slamet merupakan petuah di Desa Dukun Pucuk. Desa dimana selalu dikumandangkan adzan setiap waktu. Tak seperti mushalla pada umumnya yang hanya menyerukannya di saat maghrib, isya', subuh menjelang.
Memang di dalam negeri jamak ini, disini kita akan melarang bagaimana harga sebuah perbaikan.Tapi, tidak dengan desa satu ini yang hampir seluruhnya merupakan satu keyakinan yang sama.
Dimana mereka hanya fokus pada bagaimana mereka belajar menghargai pendapat orang lain. Lebih-lebih orang yang berusaha memperbaiki dirinya. Karena, penilaian yang mereka pandang secara dzahir tak bisa mewakili apa kata batin. Karena itu, mereka akan lebih mengalami kondisi nyata dari sebuah kehidupan.
Kakek Slamet pun membuka isi telapak tangan nan telah di genggamnya tersebut. Ternyata, lembaran-lembaran berupa cerita pendek akhirnya berjatuhan mendarat tepat dimana kursi malas berada. Setelah itu, ia mengumpulkannya sambil meneguk kopi dan tak membutuhkan waktu lama ia membaca.
masyarakat sampah.Mungkin kata pahit itulah yang akan merepresentasikan sosok hina diri ini, terhadap perilaku yang ku lakukan saat mereka memandang diriku. Homorelegius bukanlah suasana yang membawa kepribadianku sejak aku mengenal birunya langit kehidupan yang tuhan anugerahkan kepadaku.
Saya di didik di sekolah, hampir semua lulusannya tak seindah yang saya bayangkan. Termasuk diriku ini yang tak pernah memberikan sumbangsih apapun terhadap sekolahku selama aku menimba ilmu disana.
Dan ibarat sebuah karya tulis yang lenyap seketika dengan seburan api secepat kilauan cahaya dengan jerit payah yang membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Seakan seperti nasi sudah menjadi bubur- ketika abu sudah terlanjur membakar karya pena yang telah dibuat oleh diriku sendiri. Inilah aku, sebatas sampah masyarakat.
Gelar yang kudapat berikan terhadap sekolahku.Dan mungkin, akulah. Seorang yang tak dapat mengharumkan nama sekolahku. Meskipun demikian, guru swasta lah sebagai lulusan tinggi yang hanya sedikit sekolahku yang bisa memberikan kontribusi terhadap negeri tercinta ini.
Tak seperti diriku,sebatas tempat berjualan. Gelar yang bisa kubanggakan demi menyongsong kehidupanku untuk menghindar dari liang lahat. Tetapi untung sajalah ketika saya diberi kesempatan hidup panjang tuk bisa memperbaiki diri ini yang telah rusak. sejujurnya, kenapa saya suka ini?Mungkin cerita ini akan menyadarkan antara si bau busuk. Sebenarnya, dengan gelar guru swasta sebagai lulusan tinggi yang sekolah saya sumbangkan.
Mentari di ufuk timur menyinari lantunan kicauan burung yang menyeruak di bawah daun pepohonan. Irama yang dihasilkan tak semerdu cahaya mentari berikan. Senasib denganku,mentari indah nan tuhan anugerahkan tak seindah hari ini ku jalani.
“Dasar! Penjilat suami orang.” “Ku doakan harimu terkutuk seumur hidup.” “Dan aku sebagai kepala desa ini, ku tak sudi menerima mu di kampung suci ini. Dasar sampah masyarakat!” “Keluar kau! Kalau tak mau kerikil ini menghantam jendela rumahmu.”
Amarah warga meluap ketika salah satu suami dari mereka tertangkap basah dengan si Juleha, begitu pula orang memanggilku. Sebagai tempat sampah kelas kakap nan mutiara tersembunyi di lumpur yang terkenal di kalangan para politisi tidak dengan halaman rumahnya sendiri.
Amarah warga meluap ketika salah satu suami dari mereka tertangkap basah dengan si Juleha, begitu pula orang memanggilku. Sebagai tempat sampah kelas kakap nan mutiara tersembunyi di lumpur yang terkenal di kalangan para politisi tidak dengan halaman rumahnya sendiri.
Memang nasib naas menimpa ku. Saat sebelumnya dipandang sebagai lulusan sukses di sekolah kampung halamanku. Dengan tas seperti pegawai negeri sipil yang selalu saya bawa keluar setiap hari,kecuali pada hari libur sekolah. Yang sebenarnya, tidak jauh dari pakaian salinku sewaktu-waktu melayani pelangganku.
Tapi, sepandai pandainya tupai melompat akhirnya jatuh jua.Itulah ungkapan tepat tuk menyatakan keadaan diriku sekarang ini dengan kebingungannya perasaan yang telah menakutiku dalam menikmati kehidupan ini.
Mungkin salahku juga. Dengan letak rumah yang agak jauh dari pemukiman warga. Yang membuat mereka tak sadar yang aku alami sebenarnya. Dan pergulatan batin yang terjadi dalam diriku ini selama gelar usahaan masih melekat padaku. Dan entah kapan kuhentikan perbuatan nista yang membuat warga menyebutku sebagai sampah masyarakat.
Mungkin salahku juga. Dengan letak rumah yang agak jauh dari pemukiman warga. Yang membuat mereka tak sadar yang aku alami sebenarnya. Dan pergulatan batin yang terjadi dalam diriku ini selama gelar usahaan masih melekat padaku. Dan entah kapan kuhentikan perbuatan nista yang membuat warga menyebutku sebagai sampah masyarakat.
Tentu saya bersyukur ada sang pencipta yang masih mengerti keadaan saya sekarang ini. Yang sebenarnya aku ingin berhenti sekali melacur yang membuat orang lain lupa akan dirinya sendiri selama nafsu birahi mereka kulayani.Tapi,keadaan di sekitar kulah yang membuat saya terpaksa menjadi seperti ini yang selanjutnya mereka akan mengerti bahwa perlakuan saya tak sejahat yang mereka pandang.
Aku paham tanpa ayah yang mengajariku tentang keyakinan seperti banyak orang anut. Kusudah sebutkan sebelumnya bahwa diriku tak terdidik dari kalangan homoreligius . Meskipun, ayahku lulusan pesantren yang mahir dalam bidang keagamaan. Yang tak terwakili oleh ibuku. Pendidikan dasarlah yang bisa saya tempuh dengan ijazah yang tidak berharga apa pun saat melamar sebuah pekerjaan.
Juminten merupakan sosok yang selalu menuntutku tuk melakukan pekerjaan melacur ini. Ia adalah adik kandungku yang masih berada di bangku sekolah dasar.Oleh karena itu, dengan tekad yang kuat ku cari biaya utk melihat sukses tak seperti diri ini. Dan melacur adalah salah satu jalan terakhir yang bisa saya tempuh.
Memang saya salah,tak bisa mengendalikan nafsu yang terdapat pada diri saya. Dan tidak mengetahui bakat apa yang sebenarnya saya miliki. Tapi, lebih kejam lah mereka yang memanfaatkan sebuah pendidikan sebagai lahan bisnis untuk menikmati mata mereka semata-mata yang terlalu gila akan materi. Yang pada intinya melarang sebuah pengkhianatan yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang pendidik akan generasi muda sebagai peramal nasib bangsa kedepannya.
Dengan jumlah tak sedikit pula yang telah khianati dibalut dengan alasan pendidikan semata.Seperti rasa kehewanan yang tak akan pernah ada apabila hewan itu sendiri telah punah. Serta manusia ketika rasa kehancuran telah musnah. Yang berarti menandakan kepunahan dari eksistensi manusia itu sendiri.
Dan aku, sebagai pelacur. Masih bisa dikatakan memperbaiki dari mereka - pengkhianatan pendidikan. Daripad aku, yang hanya membuat segelintir orang tak terhitung banyaknya yang mereka lakukan dalam sebuah pendidikan.
Lagipula, hanya kaum tua yang menikmatiku dan jarang sekali kaum muda yang datang menghampiriku. Dengan alasan inilah. Mereka bilang aku sampah masyarakat, terserah. Tapi, jangan salahkan saya ketika pendidikan yang negeri ini berikan seperti kolonial yang rakus akan materi.
Dan dengan demikian, ku berani menyatakan bahwa diriku lahir hanya terdidik sebagai pelacur belaka. Sebagaimana mereka melarangku akan sebuah pengkhianatan ketika aku duduk di bangku sekolah dasar.
“Ctaarrrr!!!” kacapun pecah dengan kerikil serangan tajam topiku dan membuat diriku jatuh pingsan di samping meja tulisku. Dengan sebungkus kertas bertulisan : “Dek Juminten, tolong kasih ini amplop ke petuah desa biar kasus yang kakak alami tak sepahit mereka pandangi pada diri kakak. Karena tak cukup pandangan dhzahir mereka tuk mewakili apa yang ada pada batin ini.” Tertanda Juleha. Pak Slamet Pun menutup kembali lembaran surat yang telah dibacanya tadi. Dan dengan perasaan bersalah sebagai petuah di desa tersebut.
Ia Pun tertunduk malu dengan gelar yang tak pantas ia sandang.
Ia Pun tertunduk malu dengan gelar yang tak pantas ia sandang.
Sesaat kemudian, sirine ambulans berbunyi keras melewati halaman depan rumah Pak Slamet dengan Juminten yang terlihat dibalik kaca mobil tersebut. Dan seketika itu pula, sebarkanlah berita bahwa Juleha, seorang pelacur kelas kakap menderita napas terakhirnya di rumah sakit berjarak tiga desa dari tempat tinggalnya.
Sekarang, saya menyadari benar bahwa pendidikan yang negeri ini berikan lebih kejam dari Juleha perbuat. Tamat.
Post a Comment