Hari ini menjadi hari istimewa Ayu
untuk mengawali hidupnya di tempat yang baru. Sudah sejak lama ia berharap bisa
menimba ilmu di pondok pesantren setelah lulus Madrasah Ibtidaiyyah. Akan
tetapi hari pertamanya justru telat bangun sebab mengemas barang kebutuhannya
hingga larut malam. Terlebih kafein dari kopi yang ia minum setelah makan malam
membuatnya susah tidur. Usai mandi dan mengenakan baju sorong putih, Ayu
menyusul orang tuanya ke meja makan.
“Makanya jangan kebiasaan begadang
dan kebanyakan ngopi, Nak. Ribuan kali ayah dan ibu gedor-gedor pintu kamar Ayu
tapi tak ada suara sama sekali. Ayu…. Ayu…”, sindir Ayah sambil menyendok
nasinya dari piring.
Selesai sarapan, Ayu memasukkan
koper dan dua tas ranselnya ke dalam mobil. Butuh waktu sekitar satu setengah
jam untuk sampai ke lokasi, jika perjalanan lancar tidak macet. Hari ini memang
hari Minggu yang seharusnya tidak macet. Tetapi dijadikan para wali santri baru
untuk mengantarkan anaknya nyantri di hari yang dipercaya sebagai hari
baik.
Turun dari mobil, banyak sekali
santri yang seusia Ayu menangis memeluk orang tuanya ketika hendak ditinggal
untuk pulang. Melihat pemandangan haru itu, Ibu Ayu ikut menangis tak tega
meninggalkan anak sulungnya.
“Ibu jangan menangis. Aku pasti
baik-baik saja di sini. Hati-hati di jalan ya, Yah, Bu…”, kata Ayu sambil
mengusap air mata Ibunya. Ia mencoba menguatkan diri menahan air mata yang
hampir menetes. Ia tidak ingin menangis di depan orang tuanya.
“Iya Nak, Ibu tau. Jaga kesehatanmu
di sini. Jangan sampai telat makan ya”, pungkas Ibunya sambil memeluk erat Ayu.
Nayla, ketua pondok putri yang
terkenal rajin, disiplin dan suka menghibur sedari tadi sudah menunggu Ayu
mengajaknya masuk ke kamar menaruh barang bawaannya, lalu berkeliling seluruh
sudut ruang pondok. Lantai pertama di sudut selatan terdapat dapur luas yang
berdampingan dengan jalan menuju pondok putra. Nayla menjelaskan apabila
mengambil makan bisa langsung ke ruangan tersebut bergantian dengan jadwal
makannya santri putra.
Menuju lantai dua, Nayla berpapasan
dengan Tisa salah satu santri baru tapi sudah dua minggu lebih dulu mondok dibanding
Ayu. Ia tampak cuek dengan raut wajah yang galak tanpa menyapa Ayu seakan tak
suka. Hanya menatap sekali dan langsung pergi. Berbeda dengan santri lainnya
yang ramah dan saling sapa. Meskipun suasana ramai tapi sangat menenangkan bagi
Ayu ketika mendengar suara para penghafal Al Qur’an yang sedang muroja’ah.
“Mbak, kok kayak ada suara merdu
laki-laki dari arah sana. Siapa dia?” tanya Ayu heran.
“Ooh… Sepertinya itu suara Farel
yang sedang mengaji. Kapan-kapan nanti tak tunjukin yang mana orangnya.
Sekarang makan dulu, ambil nasi dan lauk di dapur bawah. Berani kan?” ujar
Nayla.
Ayu pun kembali ke kamar untuk ganti
baju kemudian ke dapur. Santri baru terus berdatangan keluar masuk pondok. Ada
yang diantar orang tuanya sampai kamar, ada pula yang hanya di antar sampai
teras pondok seperti Ayu. Ketika berbalik arah usai mengambil nasi, Ayu
terperanjat karena tepat di belakangnya ada laki-laki tinggi berkulit sawo
matang membawa cething, tempat nasi besar berwarna hijau.
“Maaf, bikin kaget. Kamu santri baru
ya? Siapa namamu?”, ucapnya mengawali perbincangan.
“Iya, tidak apa-apa. Namaku Ayu”,
jawabnya singkat.
“Salam kenal ya. Aku Yudha, wakil
ketua pondok putra. Aku mau ambil nasi untuk teman-teman. Duluan ya…”,
pungkasnya dan berlalu dengan memikul cething.
Malam pun tiba. Ayu yang dulunya
pendiam, kini sudah mulai bisa beradaptasi dengan teman dan lingkungan barunya.
Tak ada lagi yang suka membuli dirinya karena jarang bicara dan dianggap cupu.
Kegitan pondok yang belum dimulai karena masih masa libur digunakan Ayu untuk
saling mengenal satu sama lain. Ia bertanya tanya kepada teman seangkatannya
untuk mempersiapkan keperluan kegiatan MPLS hari ketiga besok, semacam
pengenalan siswa baru tentang apapun di sekolah baru. Di sela-sela itu, Ayu
sempat mendengar seseorang yang mengatakan bahwa Tisa adalah santri yang suka
memfitnah teman-temannya. Namun ia menghiraukan perkataan itu. “Mungkin emang
sifatnya yang cuek”, gerutunya dalam hati.
Malam semakin larut tetapi mata Ayu
masih belum bisa terpejam. Tiba-tiba ia teringat lantunan merdu yang tadi siang
didengarkan dari balik jendela aula. Hatinya terus bertanya-tanya siapa sosok
bersuara merdu itu sambil senyum sumringah mengingat ayat Al-qur’an yang dibaca
olehnya hingga tertidur.
*****
Ayu sudah siap berangkat sekolah
agak pagi. Sambil menunggu teman-teman lainnya yang masih antri kamar mandi, ia
pergi ke dapur untuk mengambil sarapan. Tak disangka, tepat ketika ia sedang
cuci tangan, tiba-tiba kerudung dan bajunya basah kuyup terkena tumpahan air
dari atas balkon. Ayu geram. Entah siapa yang sudah membuat dirinya basah di
sekujur tubuh dalam keadaan sudah rapi berseragam sekolah. Ditengoklah ke atas,
tak ada siapapun.
“Maaf mbak, saya tidak sengaja.” Ayu
mencari suara tak asing yang terbata-bata itu. Ternyata si pelaku sudah berada
di belakang Ayu dengan keadaan gugup. Tak disangka, dia adalah orang yang
kemarin sempat kenalan dengan Ayu ketika bertemu di dapur.
“Kamu? Kamu siapa namanya, aku lupa?
Kamu nggak melihat apa, ada orang di bawah”, kata Ayu dengan nada tinggi ingin
marah kepadanya.
“Aku Yudha. Sekali lagi saya minta
maaf, saya tidak sengaja.” Rupayanya Yudha sedang memperbaiki saluran wastafel
yang mampet dari ndalem Abah Yai dan Bu Nyai. Ia tidak menyangka airnya
akan menyembur keras dan mengenai orang. Ayu hanya bisa pasrah dan segera
berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayu tidak berani menyela
rentetan orang yang sudah lama mengantri di kamar mandi. Akhirnya dia tidak
jadi berangkat sekolah karena sudah telat.
Usai berganti baju, ia kembali lagi
ke dapur karena tadi belum jadi sarapan. Di sana sudah ada Yudha yang membantu
temannya mengambil lauk. Yudha melihat Ayu dan saling berpandangan. Tampaknya
ia ingin bicara tapi tidak berani mengatakan sepatah katapun karena melihat Ayu
yang masih memasang muka penuh amarah. Ketika hendak pergi, Yudha tersandung
dan piring yang ia bawa pecah. Jatuhlah lauk yang ia bawa. Sedangkan temannya
sudah kembali, tinggal mereka berdua di dapur. Mau nggak mau, Ayu membantu
membersihkan serpihan piring yang berserakan kemana mana agar cepat selesai dan
tidak mengenai santri lainnya yang akan berdatangan.
“Ayu, Yudha kalian ngapain berduaan
di sini? Kalian pacarana ya?”, ucap Tisa asal.
Tanpa menghitung hari, berita
tentang Ayu dan Yudha sudah menyebar ke seluruh santri putra dan putri hingga
sampailah ke telinga Abah dan Ummi, pengasuh pondok. Berhari-hari Ayu kepikiran
kasus yang menimpanya diiringi gunjingan santri lain yang berdesus akan memberi
takzir berat untuk dirinya. Air matanya tumpah. Ia tidak menyangka akan
mengalami hal yang tidak diinginkan. Ia menyembunyikan pecahan tangisnya di
balik selimut. Ia rindu orang tuanya. Nayla pun menghampiri menenangkan dan
menanyakan kejadian sebenarnya. Belum sempat terjawab, Dina santri baru juga
teman sekamar Nayla datang memberitahu Ayu bahwa ia dipanggil Ummi supaya ke ndalem.
Ayu gemetar, takut dan sedih namun
tetap berusaha tenang. Belum ada seminggu berada di pondok, ia sudah
mendapatkan masalah besar. Sampai di ndalem, Ayu meraih tangan Bu Nyai
dan salim mengecup. Ternyata sudah ada Yudha yang duduk di lantai samping kursi
“Ayu, Yudha, apakah benar kalian
berpacaran?”, tanya Ummi.
“Mboten, Ummi. Kami tidak
berpacaran”, jawab Yudha menunduk.
“Ayu, coba ceritakan apa yang
sebenarnya terjadi!”. Ummi dan Abah pun mendengarkan dengan seksama.
Setalah menceritakan kronologinya,
Ayu diminta memanggil ketua pondok untuk menanyakan siapa yang telah
menyebarkan berita tidak baik itu. Dengan pertanyaan yang sama, Nayla
menceritakan asal muasal penyebar pertama berita tak mengenakkan telinga
tersebut. Ternyata dia adalah Tisa yang pertama kali melaporkan kasus yang
dilebih-lebihkan tentang Ayu dan Yudha kepada Nayla. Ia pula yang menyebar
berita hoax itu hingga menggegerkan seluruh santri putra dan putri.
Ayu lega karena Abah dan Ummi
menerima penjelasan yang ia utarakan. Nayla diminta supaya memanggil Tisa
datang ke ndalem dan memberikan takzir kepadanya membaca Al Qur’an 5 juz sekali
duduk di depan Ummi. Tisa pun datang menghampiri mereka semua dan memohon maaf
kepada Ayu dengan genangan air mata. Ia sadar bahwa perbuatannya itu tidak
benar dan berjanji tidak mengulangi hal yang sama dengan menuduh atau memfitnah
sembarangan tanpa tabayyun dulu.
Mereka semua kecuali Tisa diminta kembali ke pondok melanjutkan kegiatan masing-masing. Sebelum berpisah, Yudha dan Ayu bertukar senyum. Melihat itu, Nayla tampak tak senang karena kabarnya ia menyukai Yudha. Sedangkan Yudha jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Ayu. Lain halnya Ayu yang lebih tertarik pada Farel yang ternyata merupakan saudara Dina, teman dekat Ayu. Sedangkan Farel sudah lama menyimpan rasa terhadap Nayla.
Post a Comment