Pesantren Bukan Penjara Suci Namun Cikal Bakal Kebaikan [Cerpen]




Ketika sang mentari hendak menenggelamkan wajahnya, bergantilah warna kuning cerah menjadi warna jingga yang sungguh sangat memukau. detik-detik seperti itulah yang biasanya sangat di nantikan oleh kebanyakan orang. Ada yang menikmatinya dengan berjalan-jalan menyusuri pantai, ada pula yang menikmatinya dari ketinggian pegunungan, dan ada pula yang menikmatinya hanya sambil duduk-duduk saja di depan teras rumah.

Berbeda dengan aku yang setiap hari selama 24 jam, mulai dari sang mentari yang menampakkan keelokan wajahnya hingga menenggelamkannya, aku masih berada ditempat yang sama, suasana yang sama, hanya saja orangnya tak pernah sama setiap tahunnya, karena setiap tahun pasti selalu ada wajah-wajah anak baru yang saya temui.

“Assalamualaikum ukhti ,” sapaku.

“Waalaikumsalam, na'am ukhti , kenapa?” jawabnya.

Anti murid baru ya?, soalnya ana tidak pernah melihat anti sebelumya,” tanyaku penuh penasaran.

Na'am ukh , ana murid baru,” timpalnya.

“Oh ya sudah, salam kenal ya, semoga anti kerasan di pondok ini,” kataku dengan beranjak pergi.

“Amiin, syukron ukhti , salam kenal juga dari ana ,” jawabnya dengan wajah ceria.

Sembilan tahun telah berlalu, perjalanan yang tak singkat dan tak mudah. Ketika awal masuk menjadi seorang santri, pertama kali yang perlu disiapkan yaitu membangun kesiapan mental, kenapa? karena di dalam lingkungan pesantren kita akan hidup sendiri, sendiri dalam artian kita jauh dari kedua orang tua, melakukan hal apapun juga sendiri, seperti belajar, mencuci, sekolah, dan lain sebagainya dengan mandiri.

Ketika rasa bosan dan suntuk mulai menjalar ke seluruh tubuh, tubuh pun mulai meronta-ronta ingin mengajakku bergerak keluar ruangan menarik udara yang segar. Tanpa menunggu aba-aba pun tubuh ini serasa tergerak dengan sendirinya untuk bangkit dari zona nyamannya. Ini bukanlah di rumah yang ketika bosan bisa pergi bermain ke tempat-tempat wisata, tapi ini pesantren jadi sebosan apapun harus tetap berada di asrama selama 24 jam penuh.

Langkah demi Langkahku telah menyisir jalanan pesantren, sembari mata tertuju pada setiap objek yang kulalui, banyak hal yang dilakukan para santri, seperti menjemur pakaian, berkumpul bersama sembari bercerita dengan teman-temannya, ada yang membaca buku, ada yang antri di kantin, di koperasi dan lain sebagainya.

“Hey ukhti , kesini ana punya jajan,” kata salah satu orang yang sedang berkumpul berkelompok kepada temannya yang sedang jalan.

Thayyib , sebentar,” jawabnya sambil berjalan mendekat ke arah mereka.

Di penjuru lain terdengar “ Ukhti , ana nitip dong,” suara temannya, yang hendak menitip jajan di kantin.

“Kesini saja sendiri, kan kantinnya gak antri,” timpalnya.

“Ner tolong cepatlah ambilkan jemuran yang ada disitu, capeklah ana di atas sini,” ucapnya sambil merasa geram kepada partnernya.

“Iya-iya ner sabar sebentar lah, ini baru meras baju ner,” jawabnya dengan lembut.

“Hembb,” jawabannya.

Melihat pemandangan yang seperti ini membuatku tersenyum-senyum sendiri karena ulah mereka yang beraneka ragam. mereka yang hidup di pensantren tidak hanya dari satu daerah yang sama, namun mereka berasal dari berbagai daerah yang tentunya dengan karakter dan sifat orang yang berbeda di setiap daerah yang ada di penjuru belahan dunia ini.     

Satu hal yang mungkin tak akan pernah saya dapatkan ketika di rumah yaitu kebersamaan. Kita sebagai para santri yang hidup dengan mandiri dan jauh dari kedua orang tua, siapa lagi yang hendak kita tuju ketika sedang tertimpa kesulitan dan membutuhkan pertolongan, jika bukan teman-teman kita? mereka lah yang stay dengan kita selama 24 jam penuh.

Dirumah kita tidak akan pernah bisa berkumpul bersama dengan mereka selama 24 jam, seperti hanya di pesantren. Pengalaman pribadi yang pernah saya lalui, ketika masa liburan tiba. Menentukan waktu untuk bisa berkumpul bersama saja sungguh sulit meminta ampun.

“Yuk besok kita agendakan kumpul bareng, sudah lama nih gak pernah kumpul bareng,” ketikku di kolom chat whatsapp.

“Hayuk, gas lah agendakan,” salah satu orang yang di grup me replay pesan yang kukirimkan.

“Haduh, saya tidak bisa magang nih sekarang,” jawab yang lainnya.

“Ya gimana ya aku masih belum libur kerja, gak bisa aku besok,” disusul yang lainnya.

“Aku pun besok masih masuk kuliah, jangan besok lah guys ,” lanjutnya.

Berbagai alasan pun mulai bermunculan ketika hendak mengajak mereka kumpul bersama. Mungkin, hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan jadwal kegiatan yang kami lakukan sehari-hari.   Berbeda dengan di asrama kita tak perlu susah payah untuk menentukan waktu berkumpul bersama. Karena, kita bisa melakukannya kapan pun selagi tidak ada kegiatan pada saat itu.

Meskipun masih berada di tempat yang sama, namun ketika melihat para santri-santri itu saya merasakan masa-masa dulu ketika masih menjadi seorang santri. Meskipun saat ini statusku masih menjadi seorang santri, namun perasaan yang tengah aku rasakan sungguh sangat berbeda dengan dulu. mungkin hal tersebut dikarenakan sekarang saya bukan hanya seorang santri saja, namun saya juga seorang guru abdi di sana. Sebelumnya tak pernah terbesit sedikitpun di benak ini untuk menjadi seorang ustazah. terkadang perasaan tidak pantas itu pun sekelebat muncul di benak ini, namun dengan bismillah saya beranikan diri untuk mengabdi di pesantren ini tentunya dengan dorongan dan motivasi dari kedua orang tua juga.

Saya adalah seorang mahasiswi yang tengah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, selain menjalankan tugas kewajiban kami di dunia perkuliahan, tugas kami yang lain yaitu mengabdi di pondok pesantren tempat kami kuliah. Disini kami semua berusaha untuk menjalankan tugas yang telah diamanatkan dengan ikhlas dan sebaik mungkin. Memang benar jikalau belajar itu tidak hanya di bangku kelas saja, namun dari pengabdian pun kita juga bisa belajar dan mendapatkan banyak pelajaran di dalamnya.

Dahulu ketika saya baru menginjakkan kaki di pesantren ada sebuah pernyataan yang terlontar dari beberapa orang, yang mengatakan bahwa “pondok pesantren itu seperti penjara suci”. “Apa maksudnya, di pondok kayak di penjara suci?” tanyaku dalam batin. perasaan takut pun dihadapi, “Apakah di pondok semenakutkan itu, seperti yang ada di sinetron televisi itu kah? apakah penjahat yang lebih senior menganiaya orang yang baru masuk penjara? terkurung dibalik jeruji besi tanpa bisa melakukan hal apapun? atau yang bagaimana?” pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di benakku itu berhasil membuatku mencari-cari jawabannya.

Dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang saya buat sendiri pada saat itu tidak ada yang benar. Selama bertahun-tahun saya hidup di lingkungan pesantren baik-baik saja, tidak semenakutkan itu, justru dunia pesantren itu sangat menyenangkan. Namun, hanya bagi orang yang benar-benar menjalaninya dengan hati yang gembira dan niat untuk menimba ilmu.

Justru bersyukurlah kamu yang bisa mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren. Kamu ditempatkan di pesantren bukan karena orang tuamu tidak sayang, banyak anak yang menyisir seperti ini, mereka menganggap jika mereka dibuang oleh kedua orang tua mereka ke pesantren karena mereka tidak sayang.

Pemikiran yang seperti itu adalah pemikiran yang salah. karena kedua orang tua yang meletakkanmu di pesantren menginginkan agar anaknya bisa menjadi anak yang paham agama, anak yang bisa mandiri meskipun tidak ada kedua orang tua, anak yang disiplin, dan yang paling penting yaitu orang tua ingin melindungi dan menjagamu dari kerasnya kehidupan di luar sana seperti pergaulan bebas.

Ketika kamu berada di dunia luar dan tidak memiliki ilmu agama sedikitpun pasti kamu akan mudah ikut tergerus arus didalamnya, berbeda lagi dengan orang yang sudah memiliki bekal ilmu agama, maka dia akan memikirkan seribu kali sebelum melakukan sesuatu hal yang buruk. Oleh karena itu, buanglah pikiran yang semacam itu, karena, kedua orang tua yang menempatkanmu di pesantren, menginginkan agar ketika kamu sudah dewasa dan terjun ke masyarakat dunia, kamu tidak menjadi orang yang mudah mengikuti sesuatu yang tidak benar.           

Post a Comment

Previous Post Next Post