Pesan Sang Surya Di Akhir Tugasnya [Cerpen]



Senja hari ini begitu berkesan, melalui pancaran sinarnya yang mempesona ia membawa pesan bahwa ‘Ilmu yang kau punya belum seberapa, kau akan terjerumus jika kau tidak serius, kau akan tenggelam dalam kesengsaraan jika ilmu mu tidak dimanfaatkan’, begitulah secarik nasihat dari sang surya diakhir tugasnya.

                                                   # # #

 

Pagi menyapa. Embun dingin nan bening masih membasahi dedaunan. Kabut putih mulai sirna seiring hadirnya mentari yang kembali memancarkan sinarnya. Kesibukan dan keramaian mulai terlihat seiring waktu yang terus berdetak. “Yeaaay, sebentar lagi aku akan bebas, batinku. Ya, pagi ini adalah hari kelulusanku. Setelah enam tahun berjuang dalam naungan kebosanan, hari ini adalah puncak keberhasilan kami di penjara suci.

 

Begitu senang dan puas sekali rasanya. “Huftt....Aku terdiam dan termenung dalam lamunanku, tiba tiba teringat moment dimana ayah dan ibu pertama kali mengantarkanku ke tempat penuh pahala ini. Aku bukanlah aku yang dulu, ku kira pesantren adalah tempat penitipan anak karena ayah dan ibu tidak menyayangiku. Namun, setelah ku pahami ayah dan ibu menItipkanku di pesantren justru sebagai bentuk kasih sayangnya agar aku terhindar dari dosa, dekat dengan sang pencipta, memupuk kerinduan pada sang baginda, hingga akhirnya ku bisa memaknai perjuangan, pengorbanan dan cinta.

 

Di penjara suci ini, aku mendapat berbagai pengalaman dan pengetahuan, tidak hanya ukhrawi tapi juga tata cara bagaimana menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Pesantren adalah taman surga, tempat meraup pahala, penjara suci penuh makna. Dalam pesantren aku merasakan indahnya keberagaman, indahnya ketersalingan, saling menghargai, menghormati, belajar untuk mengendalikan emosi, dan menumbang rasa paling benar sendiri karena sejatinya perbedaan adalah karunia untuk saling melengkapi. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, sehingga keberagaman yang diciptakan menjadi modal dalam membentuk ‘baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur’ (QS Saba’ ayat 15) dan pondok pesantren merupakan miniatur dari keberagaman tersebut. Lamunanku tergugah dengan suara seorang wanita paruh baya yang menyebut nyebut namaku. Ya, itu ibu. Seorang malaikat tanpa sayap yang Allah utus untuk membersamaiku dalam mengarungi fatamorgana dunia.

 

Ayah ibu kupeluk mereka dengan penuh rindu dan haru. “Selamat ya nak, semoga menjadi anak yang sholihah dan mendapat ilmu yang berkah.” Doa ibu sambil mengelus kepalaku. Ayah pun tersenyum bangga, “Selamat putri kecil ayah, semoga menjadi manusia yang bermanfaat dunia akhirat, amin”. Terimakasih ayah, ibu. Kebahagiaan hari ini tak akan pernah terjadi tanpa doa dan dukungan ayah dan ibu.

Melihat waktu yang terus menderu, kami bergegas segera ke tenda acara. Banyak kesan dan pesan yang terlukis dalam setiap bait kata dan doa. Namun, terdapat satu kata yang masih terus berbekas dan menguras isi kepala, “Setelah ini tentukan langkah apa yang akan diarungi?”. “Menjadi sarjana,” Ya, itu impianku. Tapi, kata kata itu, aaargh...” Aku tak tahu, aku bingung menentukan arah.

                                                # # #  

Senja menjadi sebuah momen ternyaman untuk merefleksikan langkah dan tingkah mulai sentuhan pertamanya menyapa dunia untuk selanjutnya diisi huru hara dan mengharap akhir senja yang  penuh makna.

 

Setelah sekian masa, bergulat dengan pikiran dan waktu yang terus berjalan. Kuputuskan, hari ini aku akan pergi jalan-jalan, menjernihkan pikiran, dan berharap segera bisa mengambil keputusan. Aku akan berlibur ke alam, mencari ketenangan, merasakan kesejukan, dan mentadaburi ciptaan Tuhan sang pemilik kesempurnaan. Aku akan menempuh perjalanan dengan kereta. Ya, ular besi itu bisa menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Sore ini, aku segera bergegas tanpa lupa meminta izin pada ibu dan ayah dengan bahasa yang lugas.

 

Aku berlari mengejar detik waktu yang tak mempedulikanku, akhirnya, hampir saja aku tertinggal kereta. Setelah menemukan nomor kursi yang tertera dalam pesanan, hatiku begitu tentram melihat pemandangan dengan jarak yang diterjang. Dalam keteduhan, gendang telingaku berdengung menelisik sumber suara yang tiba-tiba menggema. Kupandangi sudut demi sudut kursi dalam perjalanan, namun nihil ternyata gema lantunan penenang jiwa itu berada tepat di samping bangku ular besi yang kutunggangi.

 

Senja perjalanan, kupandangi seorang kakek tua dengan nafas yang terengah-engah, rambut yang telah berubah, kulit yang mulai mengkeriput namun semangatnya tak mengkerut meski usianya telah susut. Kakek paruh baya itu mengisi perjalanan panjangnya dengan kalam mulia. Sontak, diriku begitu malu, hatiku menderu, pandanganku tertuju pada senja. Ya, lagi-lagi senja. Ku ratapi diri ini, begitu hinanya diri ini Tuhan, Engkau telah berikan rahmat yang sangat luas dan begitu deras tanpa henti, tanpa ada cuti namun sebagai ciptaan yang ditugaskan beribadah dan menebar kebaikan di bumi- Nya saja aku masih sering mengeluh dan menunda-nunda.

 

 

Aku membayangkan diriku, yang semakin bertambahnya usia akan sama seperti yang dialami manusia pada umumnya. Namun, perbedaannya akan diisi apa disepanjang waktu yang masih tersisa? Kakek itu memahami gerak-gerikku, karena kekagumanku, aku pun memulai pembicaraan hingga akhirnya kami pun berbincang-bincang. Setelah cukup lama, aku mendapati sebuah pesan diakhir tugas sang penerang dunia, melalui pancaran sinarnya yang mempesona ia membawa pesan bahwa, ilmu yang kau punya belum seberapa, kau akan terjerumus jika kau tidak serius, kau akan tenggelam dalam kesengsaraan jika ilmumu tidak dimanfaatkan, begitulah secarik nasihat dari sang surya di akhir tugasnya. Ya, ku yakini ini adalah petunjuk.     

                                    # # #

 

Kukira aku akan bebas tapi tidak. Nyatanya hati ini masih tertaut pada kesucian suasana padepokan pesantren. Perjalanan proses sarjanaku akan ku tempuh di padepokan santri ini. Keyakinan datang dari hati dan mimpi bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan mengharap ridho ilahi, bismillah kuputuskan aku akan menjadi mahasantri.

 

Meskipun dulu aku tidak menyukainya tapi ternyata kini aku jatuh cinta pada suasana pesantren. Dimulai dari tradisi pagi yang akan jarang ditemui, sebelum mentari mendahului kami selalu menyambut pagi dengan lantunan kitab suci, hilir mudik para santri menyambut kerawuhan para kyai di tempat mengaji, malam hari yang diisi dengan kajian dan diskusi ilmiah yang terus diasah, intelektual santri yang tidak tertinggal dari peradaban global.

 

Detik waktu terus berputar, kuakui menjadi mahasantri bukanlah hal yang mudah. Menjelma menjadi generasi muda yang harus siap jiwa dan raga, menggerus nafsu untuk terus beramal ma’ruf. Menjadi mahasantri adalah pilihan dan keistimewaan bahwa yang kami cari bukan hanya kesempurnaan tapi juga kebarokahan. Sekian.

Post a Comment

Previous Post Next Post