Krisis kemanusiaan adalah isu berkepanjangan yang adanya sejak pertama
manusia lahir ke bumi. Dan saat ini, milihat dari laporan kantor Koordinasi
Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Inggris: UNOCHA/United Nations
Office for the Coordination of Humanitarian Affair) dalam Global
Humanitarian Revief menyebut, bahwasanya sepanjang 2022 ini sebanyak 274
juta orang memerlukan bantuan.
Faktornya beragam, mulai dari konflik berkepanjangan, perubahan
iklim, hingga Covid-19. Meski Indonesia tidak masuk dalam 63 negara paling
membutuhkan versi PBB, namun melihat isu intoleransi, fanatisme, dan
ketidakadilan di Indonesia cukup untuk menggerakkan nurani kita untuk saling membantu
yang membutuhkan.
Refleksi dari al-Quran, surat Ibrahim jelas nampaknya bahwasanya
keseluruhan suratnya membahas tentang perjuangan, pergerakan dan karakteristik
pemuda yanng kritis dinamis, dan pemberani.
Kisah peran pemuda di sini ditegaskan dalm QS. al-Anbiya ayat 60,
yang berbunyi
“Mereka (para penyembah berhala yang lain) berkata, “Kami mendengar
seorang pemuda yang mencela mereka (berhala-berhala). Dia dipanggil dengan nama
Ibrahim.”
Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya (58-59) terkait
pertanyaan dari pemerintah Babilonia akan siapa yang menghancurkan
berhala-berhala yang diagungkannya.
Namun, apabila kini kita lihat fakta di lapangan yang kemudian
dikuatkan oleh hasil survey oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia (Kominfo RI) tahun 2017 tentang penggunaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi, bahwasanya 66,31% dari 264,7 juta jiwa memiliki
smartphone (ponsel pintar) dan 133.3 juta atau 75% diantaranya adalah pemuda
yang rentan usianya adalah 20-29 tahun.
Belum lagi ditambah dengan kepemilikan tablet, komputer dan
teknologi informasi lainnya. Juga sikap hedon yang
kerap menjangkit mereka.
Hedonisme merupakan tumifikasi sikap dari liberalisme yang lahir
dari Barat. Sikap hedon atau memaknai kesenangan sebagai kebebeasan ekspresi
adalah budaya yang keliru.
Ini akan membuat pemuda membunuh nalar kritis, dan kepekaan serta
kepedulian mereka terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi. Karena sikap hedon
dapat mengikis sense of crisis generasi muda terhadap berbagai
permasalahan bangsa. Bahkan permasalah setingkat lingkungan kampusnya.
Akibatnya adalah kita terancam kehilangan generasi penerus yang
pandai, idealis, kritis, dan dapat memberi solusi atas permasalahan yang muncul.
Lebih luas lagi, dampaknya akan menyebabkan mudah dikuasainya
budaya asing masuk ke Indonesia yang akan melenakan dan mengacuhkan generasi
pemuda akan kepedulian terhadap sesama dan menjadi masyarakat individualis yang
konsumtif.
Melihat Peran
Pemuda dalam Sejarah Indonesia
Pemuda seperti yang dikatakan Presiden Soekarno sebagai penerus
Bangsa adalah mereka yang memiliki kekuatan 100 orang tua. Bahkan dalam pidatonya
yang lain dikatakan “1000 orang tua bisa bermimpi, 1 orang pemuda bisa
mengubah dunia.”
Sejarah pun menceritakan demikian. Bahwa (mayoritas) pemudalah yang
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, pemuda yang maju sebagai garda terdepan
dalam memepertahankan dan melawan penjajajah.
Pemuda kini sudah seyogianya meneladani apa yang pemuda dulu
lakukan. Yang pada 28 Oktober 1928 lalu telah diikrarkan bahwa pemuda harus
berjuang untuk keutuhan dan kesatuan Bangsa Indonesia yang dibelakangnya terdapat
ragam etnis, budaya, bahsa dan konflik kemanusiaan.
Peran pemuda juga kembali ditunjukkan dalam resolusi jihad 22
Oktober 1945. Pada saat itu Rais Akbar PBNU, KH Hasyim Asy’ari menyerukan
kepada seluruh masyarakat se-Jawa-Madura tentang kewajiban untuk berperang
melawan penjajah, yang kemudian memuncak pada perang 10 November 1945.
Dalam hal ini, santri sebagai pemuda yang memiliki kekuatan dan
hasrat jihad tinggi memiliki kobtribusi besar dalam perang ini. Yang kemudian
sejak 2015 lalu, melalui keputusan Presiden nomor 22 tahun 2015, Jokowi
mendeklarasikan tanggal resolusi jihad tersbeut sebagi Hari Santri Nasional.
Membaca sejarah tersebut sudah seyogianya kita menjadi pemuda yang
memiliki peran besar bagi kesatuan, keutuhan dan perdamaian Indonesia. Bukan
hanya menikmati kemerdekaan dengan sikap acuh.
Krisis ke-Indoensai-an terkini dikuatkan dengan adanya Covid-19,
banyak bermunnculan kasus pelanggaran hak beragama, intolernsi, dan fanatisme
beragama yang turunannya memuculkan ujaran kebencian (hate speech),
pemaksaan simbol-simbol agama, dan erbagai aksi kekerasan mengatassnamakan
agama. Yang dalam perkembangan zaman, kedamaian dalam konteks kekinian tidak
berhenti dalam perdamaian itu sendiri, tapi banyak turunan esensinya.
Komintas Lintas
Iman dan Visi Gusdur-ian
Organisasi keagamaan dan kepemudaan banyak melahirkan peran penting
bukan hanya dalam konteks mendukung kebijakan pemerintah, tapi juga masyarakat
yang termarjinalkan. Organisasi yang dalam hal ini adalah komunitas lintas iman
sebagai motor pengerak tolerasi dan perdamaian dari aktor non-pemerintah
(negara).
Mereka menjadikan ke-universal-an (usuli: ajaran pokok/inti)
agama sebagai dasar dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan. Dan bagian besar
dari mereka adalah generasi muda yang sering menjalani pergumulan dan
bersinggungan langsung dengan ragam perbedaan.
KH. Abdurrahman Wahid pernah mengatakan “Perdamaian tanpa
keadilan adalah ilusi.” Maka tolernasi dan perdamaiaan dalam hal ini adalah
hanyalah syarat terciptanya perdamaian, namun esensi utamanaya adalah
kesejahteraan, yang dalam ini diistilah dengan keadilan. Sejalan dengan hal itu.
Terkait hal itu, dalam rangka mewujudkan perdamaian yang digagas
oleh Gus Dur. Gus Durian sebagai anak ideologis dari Gus Dur dan berkhidmah
memeperjuangakan pemikiran-pemikrannya yang kemudian tertuang dalam 9 Nilai Utama
Gus Dur.
Dalam kerangka kerja yang dicanangkan pada tunas 2022 ada 3 level rancangan:
1) penguatan basis atau masyarakat, 2) pengarusutamaan gagasan dan jejaring
gerakan, 3) kebijakan publik.
Pada level pertama, akan diarahkan pada tiga hal. Memperluas dan
mendorong keragaman kelompok sasaran
yang dalam hal ini adalah Gen Z dan Alpha, kaum minoritas, dan pengguna aktif
sosial media.
Kemudian mendorong usaha-usaha penguatan nilai-nilai moral-etis
dalam dunia maya melalui dialog terbuka, bermakna, inovatif dan kreatif yang
berkolaborasi dengan berbagai pihak, salah staunya pemrintah dan komunitas
kepemudaan. Terakhir, memeprkuat dan merevitalisasi kebijakan sosial ayang akan
berdampak pada tingginya solidaritas dari tingkat terkecil masyarakat.
Pada level mainstreaming (pengarusutamaan) gagasan akan
diarahkan pada produksi nilai dan gagasan-gagasan agama sebagaii basis narasi toleran
dan damai dengan menggandeng para tokoh agama dan cendekiawan.
Memberdayakan para agamawan untuk aktif di media sosial. Melibatkan
ragam kelompok-kelompok minoritas dalam kerangka kerja Gusdur-ian. Dan membangun
serta memperluas dialaog lokal, nasional bahkan internasional yang memiliki
kesaamaan visi dengan Jaringan Gusdur-ian.
Sementara pada level kebijakan publik akan diarahkan pada,
mendorong lahirnya gerakan untuk mendorong pengimplementasian kebijakan yang
non-diskriminatif dan dihapusnya kebijakan yang diskriminatsf.
Serta mendorong perubahan cara pandang dan prilaku aparatur negara
yang mendukung penguatan nilai toleransi dan perdamaian.
Melalui keunggulan pemuda dan kerangka kerja yang tersusun sebagai
strategi gerakan diharap dapat menjadi sumber utama pemuda untuk menjadi agen
perdamaian dan mengarusutamakan keutuhan bangsa dibandingkan dengan kebutuhan
individu.
Post a Comment