Ketika Kota Strasbourg Berduka [Cerpen]

Teruntuk kasih seorang ayah yang lama padam karena memang hakikatnya beliau harus pergi, teruntuk kasih seorang ayah yang padam walau beliau setia di sampingmu


Dulu sekali, dirinya terheran. Mengapa musim dingin Kota Strasbourg bisa sehangat itu. Apa karena sudah berpuluh-puluh tahun silam ia berdiri di pelataran tempatnya berpijak? Bukankah seharusnya dewasa ini justru musim dingin tahun ini terasa lebih hangat? Isu-isu tentang climate change sudah menjadi tranding topic beberapa tahun belakangan ini.

Namun apalah daya, manusia sekarang ini hanya menganggap isu itu adalah bagian dari berita yang biasa berlalu, dibaca pun tidak, apalagi dapat menumbuhkan kesadaran untuk sedikit saja peduli kepada bumi yang kian menunduk menangis- memohon untuk dikasihani. Ketika bumi ini sudah lelah, hanya soal waktu saja, keadaan ini berbalik. Lupakan itu. Kau pun mungkin tak akan mengerti. Pemuda bermata sipit itu mulai merapatkan jaket tebalnya sembari menarik kopernya masuk ke rumah dinas kedutaan besar Indonesia untuk Perancis.

Banyak teknologi mutakhir yang tersedia di negeri ini. Hanya beberapa, tidak semua. Tapi itu keren sekali. Rumah dinas yang ia tinggal beberapa jam yang lalu baginya tidak terlalu luas. Namun rumah itu berkali-kali membuatnya kagum karena kecanggihan teknologi yang ada di dalamnya. Maklum, ini pertama kalinya bagi pemuda itu.

Jangan salah, pemuda yang lebih mirip menjadi artis Korea itu bukan dubes RI untuk Perancis. Ia hanyalah seorang santri dan mahasiswa semester akhir Teknik Kimia di universitas yang terbilang tidak cukup terkenal dan kebetulan diundang ‘liburan’ oleh dubes RI untuk Perancis yang sesungguhnya. Rumah dinas ini menggunakan sistem internet of thing (IoT) hampir untuk keseluruhan aktivitas.

Membuka pintu, menghidupkan lampu, memutar mesin cuci, menyalakan aliran air, dan masih banyak lagi. Bisa dikendalikan dari gadget jenis apapun terdekat yang kau miliki, asalkan memiliki akses jaringan internet. Pertama kali yang ada di pikiran pemuda itu adalah buruk sekali jika tiba-tiba listrik padam dan mengakibatkan akses jaringan internet terganggu- seperti yang sering terjadi di pondoknya.

Namun kabar baiknya, hal itu jarang dan hampir tidak pernah terjadi. Hei, ini sudah tahun 2029. Sistem internet of thing juga sudah semakin tertinggal. Itu hanyalah secuil bukti kemajuan peradaban yang booming saat tahun 2021-2023.

Detail risiko-risiko seperti itu pasti sudah ada solusinya. Pemuda itu menekan satu tombol arloji di pergelangan tangannya. Seketika rumah itu menjadi terang benderang, beberapa mesin yang sudah ia program untuk berjalan berdesing bersamaan.

Bonjour, monsieur Lukman! I’m iRob 3.2 version. You are from Indonesia. You’re 20 y.o. Happy birthday to you for today, good son of the ambassador of the old generation Algeria. I will accompany you in this city. You can ask anything you need. I can give you more information about anything. From your work, your data that you need, your style here, until the prayers you are looking for –from data that I have, maybe today you will need it. Nice to meet you, Lukman!

Wow!

Lukman mulai meminta ditunjukkan doa-doa yang iRob maksud tadi. Tepat di hari ulang tahunnya sembilan belas tahun lalu, ayahnya meninggal saat masih menjabat menjadi dubes di Aljazair. Mulutnya mulai khusyuk merapalkan doa-doa. Kenangan bersama ayahnya, tiba-tiba terlintas semua di benaknya.

Usianya waktu itu belum genap sepuluh tahun. Lukman kecil sungguh menjadi anugerah dan pelengkap kebahagiaan ayah, ibu, juga kakak perempuannya. Kakaknya, Natasha, sudah hafal sepertiga juz Al-Quran dan menguasai delapan bahasa di usia 12 tahun sedangkan dirinya sudah hafal lima juz lebih banyak dari kakaknya dan menguasai lima bahasa di usia sembilan tahun.

Mereka belajar secara langsung di bawah bimbingan ayah dan ibunya. Di usia yang masih sangat belia, mainan mereka bukan lagi mencampurkan air dengan sabun cuci piring untuk membuat gelembung. Mereka sering kali meracik parfum dari bahan-bahan kimia dan bertanding milik siapa yang jauh lebih harum. Masa SD mereka dihabiskan untuk menghafal Al-Quran, mempelajari berbagai macam bahasa, dan berlama-lama di dalam lab kimia milik ibunya yang merupakan peneliti dan long distance young inovator, mempelajari berbagai cairan yang kebanyakan baru disentuh oleh siswa SMA.

Semua itu terasa lengkap hingga hari itu tiba, hari ulang tahun Lukman yang ke-10. Kue-kue kecil yang sudah dipersiapkan dan dinantikan sejak pagi mendadak terabaikan. Ibunya sibuk menelpon ambulan setempat saat tiba-tiba suaminya tak sadarkan diri subuh tadi.

Suaminya itu memang sudah dua hari terbaring lemah di kamar karena sakit. Lukman yang cepat membaca situasi dari ekspresi ibunya langsung menghubungi kantor KBRI. Mengabarkan kondisi ayahnya yang kian memburuk, itu hal penting yang sudah dipersiapkan ayahnya untuk menghadapi hal semacam ini. Lima menit kemudian ambulan itu datang, namun tidak dengan membawa kabar baik.

Mobil dengan suara nyaring itu membawa tubuh ayahnya pergi- meskipun yakin seratus persen mereka tidak bisa menawarkan obat atau perawatan di rumah sakitnya karena memang penawar untuk penyakit ayahnya belum ditemukan.

Lukman tidak ingat secara pasti nama penyakitnya, namun yang bisa Lukman tangkap dalam bahasa Perancis saat ayahnya konsultasi online dengan dokter ternama di Perancis, itu adalah penyakit parah yang bahkan belum ditemukan obatnya secara pasti. Ibunya ikut bersama ambulan tersebut setelah memberi tahu Natasha anak sulungnya untuk menghubungi salah satu rumah sakit di Kota Strasbourg, Perancis. Itu seharusnya mudah saja bagi si jenius Natasha yang sudah menguasai ilmu komunikasi lintas negara beserta bahasanya.

Namun nyatanya, itu bukan situasi mudah. Tangannya gemetar sejak tadi. Kau pernah mendengar pepatah jika sosok ayah adalah cinta pertamanya anak perempuan? Pepatah itu benar adanya. Ayah, adalah cinta pertama Natasha, teman terbaiknya, dan satu-satunya orang di muka bumi ini yang amat dicintainya.

Lukman, di usianya yang ke-10, dalam benaknya saat itu berkata kuat. Jika ayahnya benar-benar pergi meninggalkan mereka, lalu dirinyalah yang harus menggantikan posisi itu. Di situasi seperti ini, dirinya adalah kepala keluarga ini.

Lukman menyambar telepon rumah dengan cepat dari tangan Natasha. Mencari dengan cepat nomor rumah sakit yang dimaksud ibunya. Dua, tiga, hingga empat kali sambungan teleponnya terputus karena tidak ada yang mengangkat. Hingga panggilan kelima, suara dokter yang sama persis seperti waktu ayahnya konsultasi online terdengar.

“Bonjour docteur. Je suis Lukman…”

###

Malam itu Lukman mengurus seluruh persyaratan untuk terbang ke Kota Strasbourg, Perancis dibantu oleh teman ayahnya dari KBRI via telepon. Natasha tak banyak membantu. Ia banyak melamun dan berkali-kali menengok ke jendela yang dipenuhi salju untuk memastikan kedatangan ibunya.

Pukul sembilan malam, Lukman dan Natasha berangkat bersama teman ayahnya menuju Perancis. Ibu dan ayahnya berangkat terpisah bersama tim medis dari rumah sakit. Mereka mendapat jadwal penerbangan lebih awal. Pukul dua siang rombongan ibunya sudah meninggalkan Aljazair.

Setibanya di Kota Strasbourg, di sudut lorong ruang rumah sakit, Natasha menangis sejadi-jadinya. Suaranya nyaring menyayat hati siapapun yang mendengar. Lukman yang sudah bisa menebak hal ini akan terjadi mencoba menenangkan Natasha, juga ibunya yang memeluk ayahnya erat. Ia memandang lekat wajah dan tubuh ayahnya yang sudah terbujur kaku.

Bahkan di saat orang-orang di sekelilingnya menangis, ayahnya tetap saja tersenyum. Sama persis yang diceritakan ayah semasa hidupnya: penghafal Al-Quran meninggalnya tersenyum, jasadnya wangi, dan tak akan rusak walau sudah dikubur bertahun-tahun.

Ayah, Lukman juga ingin nantinya tersenyum begitu. Mulai detik ini, Lukman yang akan menggantikan senyum itu. Sementara ini, senyum Lukman yang seperti itu harus selalu dilihat oleh Ibu dan kakak. Adek berjanji, tidak akan ada air mata di saat ibu dan kakak menangis. Ini terakhir kalinya, Lukman berjanji.

Perlahan, air mata Lukman jatuh. Ikut membasahi puncak kerudung Natasha.

###

Setiap orang pasti memiliki lukanya masing-masing. Kisah tadi merupakan luka sekaligus kekuatan bagi Lukman. Karena kisah pilu di tengah badai salju Kota Strasbourg sembilan belas tahun lalu itu, hari ini ia diundang untuk menghadiri A Conference of Ten Chemical Scientists Genius. Bukan tanpa alasan Lukman memilih menimba ilmu agama di sudut dusun, di sebuah pondok kecil milik sahabat jauh ayahnya yang tak banyak dikenal orang.

Semenjak berita meninggalnya duta besar ternama menyebar, banyak media yang mengulik informasi pribadi Lukman dan kakaknya -putra duta besar. Bertahun-tahun dirinya dipaksa bergabung dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk dididik menjadi ilmuwan muda.

Bukannya ia tak mau untuk bergabung, meninggalkan Natasha dan ibunya adalah keputusan yang tidak akan pernah ia buat. Terlebih ia juga ingin mendalami ilmu Al-Quran. Lalu, mengapa kali ini ia mau? Jawabannya jelas, konferensi ini adalah pertemuan penting dengan 10 ilmuwan kimia dunia yang membahas obat dan teknologi mutakhir untuk mematikan virus elerane. Ya, virus inilah yang dulu menyerang ayahnya hingga meninggal. Penawar dari virus ini harus diciptakan, sesulit apapun itu.

Lukman berjalan memasuki gedung megah serba putih dengan keamanan teknologi yang super ketat. Ini adalah laboratorium kimia terbesar yang sering diceritakan ibunya. Ia melihat takjub sekeliling, di dalam sana, ia tersenyum.

###

Ini bukan kumpulan cerita perjuangan Lukman hingga sampai di detik ini, bukan juga cerita detail mengenai masa kecilnya yang berbeda dari kebanyakan orang, juga bukan deretan cerita duka dan penderitaan pasca ayahnya meninggal, ini hanyalah secuil cerita lukanya di masa lalu dan cerita betapa suksesnya ia di masa kini.

Betapa hebat didikan ayah ibunya mengenai kecintaan terhadap suatu ilmu dan Al-Quran. Sejatinya, tidak selamanya luka membawa duka dan keputusasaan yang mendalam, bahwa luka di masa lalu itulah yang seharusnya membuat kita menjadi lebih kuat. Bahwa firman Allah mengenai derajat yang dijanjikan untuk orang berilmu itu nyata adanya.

Terakhir…

Teruntuk kasih seorang ayah yang lama padam karena memang hakikatnya beliau harus pergi, teruntuk kasih seorang ayah yang padam walau beliau setia di sampingmu, atau untuk kasih seorang ayah yang padam karena hal pedih lainnya, tak apa. 

Luka itu, jangan terus menerus jadikan duka.

Post a Comment

Previous Post Next Post