Huruf Arab Jawa atau lebih sering
kita kenal huruf pegon adalah salah satu kekhasan Islam klasik yang ada di Indonesia,
khususnya di pulau Jawa. Huruf Jawa pegon adalah sebuah kesenian dan budaya
yang sudah ada sejak zaman walisongo sebagai media dalam mengajarkan ilmu
agama.
Walisongo, para ulama dan saudagar
dari Timur Tengah yang menyebarkan agama Islam di Indonesia menggunakan huruf
Jawa pegon sebagai penerjemah kitab-kitab berbahasa Arab.
Karena pada masa itu tidak
memungkinkan jika menggunakan kitab berbahasa Arab sebagai media pembelajaran.
Para masyarakat yang baru masuk Islam dan ingin belajar tentang Islam, terlebih
dahulu diajari untuk menulis Jawa pegon. Kemudian setelah itu diajak untuk
mengkaji kitab-kitab fiqih, akhlak, dan tasawuf.
Masyarakat yang ingin belajar ilmu
agama tidak kesusahan dalam memahami kitab-kitab berbahasa arab. Sebab
walisongo mengajarkan mereka dengan sabar, lemah lembut dan penuh ketelatenan. Walisongo
menggunakan rumah atau gubuk sebagai media mengkaji kitab kuning.
Tapi seiring dengan banyaknya masyarakat yang tertarik dengan agama Islam, sehingga jika menggunakan gubuk tidak akan bias menampung banyaknya masyarakat. Lantas walisongo membangun tempat belajar yang disebut pondok pesantren. Mereka yang belajar agama di pondok pesantren dinamakan santri.
Pesantren sebagai Media Pendidikan di Jawa
Pondok Pesantren semakin menyebar di
Nusantara sehingga jumlah pemeluk agama Islam pun semakin banyak. Sehingga Nusantara
yang dulunya mayoritas beragama Hindu Budha, kini telah menjadi agama Islam.
Para Ulama dan Kyai Nusantara juga mulai bermunculan dan melanjutkan estafet
dakwah dari walisongo.
Para ulama memberi bekal ilmu agama
yang kuat kepada umat Islam, sehingga pada saat Belanda menjajah Indonesia
mereka sudah mempunyai dasar agama dan keyakinan yang kuat.
Pada waktu penjajahan Belanda huruf
jawa pegon kembali berperan aktif dalam media dakwah. Bangsa kolonial melarang bangsa
Indonesia untuk belajar terlebih ilmu agama. Terkecuali kepada para keluarga
bangsawan.
Para ulama menggunkan Jawa pegon
sebagai kamuflase ilmu-ilmu pesantren dalam menyebarluaskan ilmu dalam masa
sulit itu. Selain itu jawa pegon juga menjadi media komunikasi yang digunakan
para ulama dalam mendiskuasikan perihal keIslaman dan hal-hal yang tidak boleh
diketahui oleh Bangsa Belanda, seperti dalam menyusun perlawanan dan
pemberontakan kepada Belanda.
Relevansi Huruf Pegon dan Modernitas
Tapi, mengapa kini Jawa pegon masih
sangat kental dengan pengajaran di pesantren. Padahal, kini banyak fasilitas
yang bisa dimanfaatkan oleh para santri dalam mengkaji kitab-kitab kuning.
Seperti, melalaui aplikasi kitab
terjemahan dan aplikasi kamus bahasa Arab. Hal tidak disebabkan para ulama,
para santri ataupun umat Islam buta akan perkeembangan teknologi. Tapi, para
ulama melestarikan budaya dan kesenian yang menjadi kekhasan dari kehidupan
pesantren yang digagas oleh para walisongo.
Pelestarian huruf jawa pegon kini
juga untuk digunakan untuk membekali para umat Islam khususnya para santri agar
tidak mentah-mentah dalam mencerna isi dari kitab-kitab terjemahan yang beredar di banyak toko atau yang diakses
secara online, baik melalui aplikasi atau web. Sehingga para santri tidak salah
dalam menafsiri kitab yang nanti akhirnya bias menimbulkan hukum baru yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Karena banyak masyarakat
urban khususnya mereka yang berada di kota hanya menerima ilmu yang instan dari
gawai mereka tanpa melakukan verifikasi terhadap validitas (tashih) ilmu
tersebut.
Sehingga yang terjadi
adalah paham agama yang instan dan cenderung mudah mengkafirkan. Menganggap
golongan atau paham yang tidak sesuai dengan dirinya adalah salah bahkan
menganggap kafir (paham takfiri).
Maka peran jawa pegon
sebagai kekhasan ilmu pesantren selain menjaga warisan para ulama adalah juga
sebagai penyambung sanad keilmuan dari para guru-gurunya, ulama, hingga kepada
sahabat dan Nabi Muhammad.
Post a Comment