Kronik Ekoteologi: Berteologi dalam Konteks Krisis Lingkungan


Berteologi dalam konteks krisis lingkungan ini adalah salah satu implementasi nilai agama dalam merespon kondisi faktual lingkungan hidup (ecofactual) saat ini. Sebab secara historis, dalam tiga agama samawi, selalu membahas tentang hubungan antara manusia-Tuhan saja.

Bahasan antroposentris dengan menganggap manusia sebagai aktor penting dalam kehidupan dalam memerankan tuhan dalam bentuk manusia (imago dei) menyebabkan hewan dan lingkungan sebagai makhluk yang patut dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia.

Sedangkan di Indonesia sendiri beberapa aspek yang menjadikan kajian ini penting untuk dilakukan, paling tidak ada tiga aspek;

Pertama ,   faktor pertumbuhan ekonomi yang melatar belakangi kerusakan ligkungan akibat tereksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam guna memenuhi tuntutan kebutuhan, ego, dan keserakahan manusia. Seperti penggundulan hutan, penggunaan pestisida yang berlebihan, pencemaran udara, pencemaran pembebasan dan sebagainya

Kedua , sumber referensi yang digunakan dalam kajian ekologi ekologi yakni tema-tema biblis, seperti penciptaan telogi, perjanjian, juga eskatologi.

Ketiga, pendekatan teologis ekologi. Penggunaan pendekatan kajian antopsentrik, ekosentrik, dan teosentrik menjadi hal yang perlu dikembangkan secara lebih spesifik untuk merespon keadaan faktual lingkungan saat ini.

 

Aliran-aliran Studi Teologi Ekologi

Dalam kajian ini, ada tiga aliran utama kajian ekologi ekologi yang kesemuanya itu dipengaruhi oleh pengaruh filsafat dan rasa kepedulian manusia untuk menyelamatkan lingkungan hidup.

Pertama , teologia terpendam (Liberation Theology) . Teologi ini bermula dari pembahasan masalah sosial yang sewaktu itu dialami Amerika Latin, yang kemudian dikembangkan serta diperluas kajiannya, dan dihubungkannya isu kebakaran sosial dengan ekologis.

Leonardo Boff sebagai salah satu tokoh teolog pembebasan yang membahas mengenai ekoteologi. Dalam tema keadilan ekologis yang diangkat oleh Boff, Ia menjelaskan bahwa (setiap) manusia memiliki kewajiban untuk berlaku adil kepada bumi atau secara spesifik adalah lingkungan dan hewan.

Karena lingkungan sendiri memiliki hak serta harkat dan martabat sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, bahkan bumi (lingkungan) ini sendiri sudah jauh sebelum manusia lahir (diciptakan).

Menurut Boff, rusak dan hancurnya bumi ini, itu dikarenakan oleh tindak laku manusia yang tidak adil sebab merasa bebas mengeksploitasi alam untuk kebutuhan ekonominya (kapitalis) dengan praktik yang cenderung konsumtif.

Maka, dengan keadilan ekologis ini, Boff menawarkan untuk memulai sikap baru untuk kejahatan kejahatan, adil, saling memiliki serta memperbaiki ketidakadilan yang diberlakukan atas kemajuan teknologi –yang cenderung agresif, eksploitatif, dan konsumtif.

Keadilan ini dapat diwujudkan dengan berpikir kreatif dalam mengelola alam, bertanggung jawab dan mengembangbiakkannya. Karena manusia sebagai co-pilot (pengelola).

Dalam tradisi Yahudi-Kristen diistilahkan dengan anak-anak Allah yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan, yang bisa dan berpotensi menjadi malaikat (khalifah) di muka bumi sebagai pengejahwantah rencana Allah yang Maha Pencipta dan Pembebas.

Kedua, ekofeminisme. Tidak jauh dari namanya, ekofeminisme ini mengaitkan penindasan terhadap perempuan dengan penindasan terhadap lingkungan hidup.

Rosemary Radford Ruether, tokoh teolog feminis mengumpamakan alam sebagai realitas perempuan yang tertindas oleh ideologi patriarki dan manusia sebagai inferior laki-laki yang cenderung menindas, mendeskriminasi dan mengeksploitasi perempuan.

Radford Ruther beranggapan bahwa alam adalah materi yang memiliki roh namun tidak memiliki kehidupan sehingga dijadikan alat untuk dieksploitasi oleh laki-laki (manusia).

Sementara itu, Sally McFague dalam ekofeminisme menawarkan kontruksi telogi feminis dengan menggambarkan   Allah sebagai Ibu, kekasih, dan sahabat. Karena menurutnya konsep seperti ini sangat sesuai dengan Al-Kitab, sehingga dengan menyakini konsep tersebut dapat mengelakkan manusia –khusunya umat Kristen– dari penyelesaian perempuan dan perusak alam serta melahirkan rasa tanggung jawab manusia terhadap alam secara menyeluruh.

Ketiga , proses teologis. Teologi proses memandang Allah dan alam saling mempengaruhi oleh sebab itu Allah tidak dianggap sebagai penguasa mutlak (maha kuasa) melainkan sebagai pengasih mutlak (maha kasih) .

Karena para filusuf proses, Alfred North Whitehead dan Charles Hartshome penutupan bahwa alam (ciptaan/makhluk selain Allah) adalah proses berkelanjutan dan bukan produk akhir.

Allah sebagai pemelihara alam tidak lantas diartikan Allah menguasai dan menentukan segala sesuatau, bahkan dalam teolog proses Allah dikatakan tidak menguasai masa depan juga dunia.

Tokoh teolog proses secara mutlak menolak gagasan cretio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan), karena segala sesuatu mengalami proses terjadinya dan juga akan mengalami prses perubahannya (ketiadaanya). Sehingga teologi ini memberikan pandangan baru mengenai korelasi antara manusia dengan alam.

David Ray Griffin menambahkan, bahwa proses teologis dalam alam berorientasi pada aspek empat; Pertama , tidak akan adanya pengelompokan (dikotomi) antara manusia dengan alam, karena sejatinya keduanya adalah ciptaan-Nya yang sama-sama memiliki hak yang harus saling memenuhi-dipenuhi.

Kedua , nilai intrinsik yang dimiliki  setiap makhluk-Nya berbeda, yang artinya setiap ciptaanya memiliki peran masing-masing yang semuanya saling berkaitan dan melengkapi.

Ketiga , setiap makhluk tidak hanya terikat dengan nilai intrinsik (tujuan diciptakannya) yang melekat pada dirinya, melainkan juga pada nilai ekologis (kewajiban menjaga lingkungan) yang ada.

Keempat, sifat Allah melekat pada setiap ciptaan-Nya bahkan pada protin sekalipun. Oleh sebab itu setiap makhluk-Nya perlu dihargai sebagai manifestasi atau pengejahwantahantuhan dalam bentuk ciptaan-Nya.

Post a Comment

Previous Post Next Post