Di suatu desa hidup seorang bapak yang memiliki keahlian dalam berdagang, ia memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Dia melakukan itu hanya bertujuan untuk menghidupi keluarganya dan agar anaknya bisa terus bersekolah, namanya Tarno.
Surabaya menjadi kota yang layak menurutnya untuk mengais nafkah bagi keluarga, Karena disana juga memang mempunyai kerabat yang mempersilahkan untuknya tinggal di rumah yang kosong.
Selama ia berada di kota tersebut ia mampu menyekolahkan kedua anaknya dengan hasil perdagangan gado-gado. Sampai anak yang pertama lulus kuliah, dan yang kedua masih duduk dibangku SMP.
Sepuluh tahun berjalan, pak Tarno mendapat kabar bahwa ibunya sakit, dan mengharuskannya pulang kampung ke daerah Sumenep Madura.
Sepulangnya di rumah, ia harus merawat ibunya yang sudah tidak berdaya lagi, saat itu Pak Tarno berhenti bekerja, karena biaya anaknya untuk bersekolah masih cukup dari hasil merantau sebelumnya, selain itu ibu Pak Tarno juga masih butuh di bantu untuk beraktivitas.
Singkat cerita, ibu Pak Tarno sudah pulih kembali dan kini bisa beraktifitas seperti biasanya. Tetapi Pak Tarno sudah kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan sebentar lagi anaknya yang kedua akan masuk ke pesantren.
Demi sang anak, Pak Tarno memulai bisnisnya di desa sendiri. Memang bukan sesuatu yang mudah untuk bisa melakukan hal itu, tetapi ia tetap memberanikan diri.
Usahanya mulai dengan berjualan menggunakan gerobak keliling dari rumah menuju jalan raya depan garpura desa. Ia berangkat pukul empat sore dan sampai di depan gapura sekitar pukul lima sore. Hanya dalam waktu satu jam ia mampu menghabiskan dagangannya.
Semakin lama Pak Tarno bersemangat untuk membuat lebih banyak lagi, dan berangkat di pagi hari. Sampai akhirnya gerobak itu tidak hanya habis saat di gapura. Tapi dia berjalan terus sampai disebuah pasar. Ia berjualan di samping pasar dibebaskan dengan jalan raya.
Pak Tarno merasa disini tidak begitu strategis, ia pun berpindah di pasar parkiran. Saat di pasar tukang parkir pun merasa keberatan, karena harus mengorbankan tempatnya untuk Pak Tarno.
Tapi Pak Tarno tidak putus asa, ia setiap pagi selalu menyiapkan gado-gado khusus untuk tukang parkir, sehingga lama kelamaan akhirnya hati sang tukang parkir luluh, dan memberikan tempatnya dengan senang hati.
Akhirnya, ada rencana dari pihak pemerintah untuk membangun ruko di pasar tersebut, tukang parkir pun memberikan lahan parkiran tersebut untuk digunakan ruko bagi Pak Tarno. Setelah pembangunan selesai Pak Tarno malah menjadi ketua dari semua pedagang yang ada di tempat itu.
Di saat anak Pak Tarno yang kedua akan masuk ke SLTA, pak Tarno memiliki keinginan agar anak ini mondok , ia berusaha memulihkan tenaga agar nafkahnya mampu untuk membiayai pendaftaran masuknya dan segala keperluan yang dibutuhkannya.
Tapi apalah daya, kurang tujuh hari dari pendaftaran pondok ditutup Pak Tarno ternyata jatuh sakit sampai tidak bisa bangun dari tempat tidurnya sama sekali. Mintanya pun berhenti.
Post a Comment