[Resensi] Melihat Diri Sendiri: Refleksi dan Inspirasi

Buku Melihat Diri Sendiri Karya A.
Mustofa Bisri


Judul buku      : Melihat Diri Sendiri: Refleksi dan Inspirasi

Penerbit           : Diva Press

Tahun terbit     : 2019

Tebal buku      : 294 halaman

ISBN               : 978-602-391-686-3

KH. Ahmad Musthofa Bisri, secarik nama yang tidak asing di telinga di kalangan masyarakat terutama santri. Beliau merupakan kiai kondang yang multitalen. Keahliannya dalam menyampaikan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang berisi pesan moral kepada khalayak publik sudah tidak diragukan lagi.

Tidak hanya sekadar itu, tokoh yang biasa dipanggil dengan sapaan Gus Mus ini juga seorang budayawan yang acap kali tampil bersama rekan-rekannya, seperti Emha Ainun Najib, Sujiwo Tejo dan kalaupun alm. Gus Dur. Bahkan para fans beliau (Gus Mus, Cak Nun, Sujiwo Tejo, dan Gus Dur) bisa dikatakan banyak yang menjuluki mereka berempat dengan sebutan ‘Punokawan Reborn’ hal tersebut karena keakrabannya.

Di lain sisi, Gus Mus juga lihai dalam meracik kata-kata dengan bumbu khasnya, diubahnya menjadi sebuah sajak ataupun puisi, yang rata-rata bergenre religi. Tapi tak jarang pula puisi beliau berbau sebuah sindirian-sindiran politik di negeri ini. Selain itu, beliau juga telah menghasilkan berbagai macam karya berupa buku Kumpulan Puisi Balsem (1991), Pahlawan Dan Tikus (1995), Negeri Daging (2002), Lukisan Kaligrafi; Kumpulan Cerpen (2003), Membuka Pintu Langit (2007) dan masih banyak lagi. Salah satu karya beliau yang menarik perhatian penulis buku kali ini, “Melihat Diri Sendiri; Refleksi dan Inspirasi”.

Buku ini berisi rentetan kejadian yang pernah dialami oleh Gus Mus yang disisipkan beberapa hikmah dan pesan moral hal tersebut dituangkan dalam Sekapur Sirih yang terletak di awal halaman, beliau menuturkan, bahwa buku ini merupakan kumpulan-kumpulan tulisannya yang beliau kirimkan ke berbagai koran dan majalah, seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Tempo, Wawasan, Forum, Duta Masyarakat, dan lainnya pada zaman Orde Baru.

Buku ini mengulas kembali kejadian beberapa tahun silam, menjelajah waktu sampai dengan mengingat zaman order baru. Gus Mus juga menjelaskan sebuah upaya untuk intropeksi diri dari pengalaman yang dituangkan dalam buku tersebut. Tujuannya tak lain untuk menjadi manusia yang lebih baik di mata Allah Swt.

Buku ini juga menceritakan pentingnya keberagaman dan kesalingan dalam menjalaninya. Pada sub judul Sikap Keberagaman diceritakan tentang fenomena ketika berada di Masjidil Haram, beliau melihat para jama’ah haji yang sedang berebut mencium Hajar Aswad.

Beliau bercerita, bahwa mereka begitu bersemangat berdesak-desakan untuk dapat menguasai bagian pojok dekat pintu Ka’bah itu. Sesekali terlihat beberapa orang terpental kena sodok saingan mereka sesama jama’ah. Dan wajah mereka yang berhasil mencium batu yang hitam yang dikeramatkan itu, meskipun tampak lusuh dan kusut, jelas sekali memancarkan kelegaan dan kepuasan.

Melihat semangat mereka itu, lantas Gus Mus berpikir dan bertanya-tanya: kepercayaan atau motivasi apa sebenarnya membuat keinginan mereka begitu hebat dan bersedia ‘berjuang mati-matian’ berebut mencium Hajar Aswad? Sedangkan, mencium Hajar Aswad adalah sunah, dan menyakiti sesama mukmin yang notabene juga sedang melaksanakan ibadah adalah keharaman. Lalu bagaimaa mungkin sesama muslim ingin melaksanakan kesunahan dengan melakukan keharaman? Lebih muskil lagi bila pelanggaran larangan agama itu dilakukan untuk memuaskan diri sendiri  bersamaan dengan dan atas nama pelaksanaan ibadah agama.

Sikap tersebut menjadi contoh keberagamaan yang menggambarkan semangat beragama yang tinggi, tetapi tidak diimbangi oleh pemahaman dan penalaran agama itu sendiri. Seperti soal label makanan halal yang sempat ramai tempo hari,  yang bisa mnejadi contoh ketidakseimbangan semangat antara pemahaman dan penalaran agama di kalangan kaum muslimin. Orang-orang sibuk dengan hal haramnya makanan, tetapi tidak mempedulikan halal haramnya cara mendapatkan makanan itu sendiri.

Tak hanya itu, Gus Mus menjelaskan pula konsep fanatisme yang harus diimbangi dengan toleransi keberagaman agar terwujud kesalingan dalam sebuah tatanan keberagaman dalam kehidupan masyarakat.

Seperti karya yang dihasilkan oleh para penulis lainnya, sebuah karya tak bisa lepas dari kekurangan. Buku ini juga tak luput dari hal tersebut karena terdapat beberapa kata yang sering beliau ulang-ulang. Sesuai apa yang Gus Mus katakan, bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini hanya ditulis oleh satu orang, yaitu dirinya sendiri.

Gus Mus berpesan kepada para pembaca supaya tidak kecewa dengan banyaknya pengulangan-pengulangan kata di dalamnya. Kalau memang ada sebuah pengulangan-pengulangan, Gus Mus berharap hal tersebut sebagai tanda konsistensi atau ke-istiqomah-an beliau. Hal tersebut juga untuk menghindari kebosanan. Buku ini menganjurkan para pembaca untuk tidak menamatkan buku tersebut dengan sekali baca.

Terlepas dari kekurangan yang ada di buku ini, perlu kita sadari bahwa kelebihan dari tulisan-tulisan beliau karena tulisan-tulisan Gus Mus dalam buku ini juga mengajak para pembacanya untuk lebih berpikiran terbuka, peka terhadap lingkungan dan lebih kritis mengamati hal-hal di sekitar kita terutama dalam kaitannya upaya muhasabah diri.

Post a Comment

Previous Post Next Post