Di zaman yang sudah serba modern ini, masih banyak kalangan atau kelompok
yang mempertanyakan akan paham NU. Baik dari segi amaliahnya maupun akhidahnya. Di
tengah kegaduhan masyarakat itulah muncul serangan-serangan yang mengklaim NU
sebagai ahlu bidah dengan melihat tata cara ibadah dan tradisi keislaman warga
Nahdhiyyin. Seperti maulid nabi, tahlilan, istighosah, tawassul, ziarah kubur, dan lain
sebagainya.
Berangkat dari situlah kaum Nahdhiyyin yang merupakan mayoritas umat
islam di Indonesia, merasa terusik dengan disandangkannya cap bidah pada amaliah yang
sudah menjadi tradisi dan kebiasaan warga Nahdhiyyin.
Dalam pengertiannya, bidah bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak pernah
terjadi pada masa Rasulullah. Atau bisa dikatakan sebagai kebalikan daripada sunnah. Jika
hanya merujuk pada penjelasan di atas, maka bisa dibilang kita semua adalah ahlu bidah,
bahkan para sahabat dan ulama sekalipun. Karena apa yang sekarang ada di sekitar kita dan
yang kita manfaatkan sekarang tidak pernah ada dan tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Maka dari itu secara garis besar, para ulama membagi bidah menjadi dua
Bidah hasanah (bidah yang baik) dan bidah madzmumah (bidah yang tercela). Adapun ulama
yang menolak pembagian bidah, dan menyatakan semua perkara yang baru (bidah) adalah
sesat, malah terjebak dengan pernyataannya sendiri. Dan ia pun mengklarifikasi bahwa
makna kata “kullu” dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah
kata-kata general (am) yang maknanya terbatas (khas). Dan membagi bidah menjadi dua,
yaitu bidah dalam urusan agama dan bidah dalam urusan dunia. Ini menjadi bukti bahwa
ketidak konsistennya dengan pernyataan awal (bahwa tidak ada pembagian bidah).
Terkait dengan amaliah NU, mari kita menengok kebelakang jauh sebelum NU
berdiri pada masa Khalifah Abu bakar tentang pembukuan al-Quran dalam mushaf yang
dirampungkan oleh Khalifah Utsman yang bisa kita baca saat ini adalah salah satu bidah
hasanah yang dilakukan oleh para sahabat. Dan para ulama sepakat sepakat bahwa itu
bidah yang baik.
Sekarang mari kita telusuri amaliah yang dilakukan oleh warga NU. Ya,
memang amaliah NU tidak ada dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tapi amaliah
NU tidak ada yang menyimpang dengan syariat Islam, maka itu juga termasuk bidah yang
baik. Tapi mengapa masih banyak kelompok yang tidak sepakat dengan pernyataan itu.
Ahlu bidah yang disandangkan pada warga Nahdhiyyin memang benar tapi “Ahlu bidah
hasanah”.
Pepatah jawa mengatakan “wasien sek gegermu, sedurunge ngawasi gegere
koncomu”. Para kelompok yang rajin menuduh bahwa NU adalah gudang bidah, apakah
mereka juga suci dari bidah? Benarkah apa yang mereka tuduhkan berdasarkan dalil-dalil
syari dan pemahaman yang jelas? Atau tidak lain hanyalah senjata yang diluncurkan
melalui mimbar, corong radio, artikel, bahkan aksi masyarakat yang ditujukan untuk
melemahkan warga Nahdhiyyin.
Bagi warga NU yang barangkali memandang tradisi islam itu sebagai suatu
kebiasaan, maka seyogyanya tau, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini bukanlah
bidah yang sesat, yang dapat menjerumuskan dalam siksa neraka. Sedang bagi selain warga
NU yang rajin menuduh NU. Semoga menjadi mengerti bahwa apa yang dilakukan umat
Islam yang berfaliasi ke NU ternyata memiliki dasar dalil. Dan mereka menjadi sosok yang
dapat memahami perbedaan di tengah umat dengan cara santun, dewasa dan arif.
Karena perbedaan merupakan keniscayaan bukan malah dijadikan senjata untuk menyerang dan
melemahkan saudara seiman dan senegara. Kita bebas menyakini suatu pendapat. Tapi kita
tidak berhak untuk memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat kita, asalkan itu masih
berada pada ranah furu dan tidak terkait masalah keyakinan akhidah.
Post a Comment